Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Pada waktu malam, Umar melihat nyala api dari kejauhan. Dia pun pergi menuju ke arah api tersebut. Ternyata, dia menjumpai seorang wanita yang dikelilingi oleh anak-anaknya. Sementara di atas api, ada sebuah periuk yang di dalamnya terdapat batu dan air. Wanita ini memegang sebuah tongkat guna membolak-balikkan batu yang ada di dalam periuk tersebut, sementara anak-anaknya menangis karena kelaparan.
Umar pun berkata, “Assalamu’alaikum, wahai orang yang sedang menyalakan api.”
Wanita itu menjawab, “Wa’alaikumussalam.” “Apakah aku boleh mendekat?” tanya Umar.
“Mendekatlah dengan cara yang baik,” jawab perempuan itu. “Apa yang sedang kalian alami?” tanya Umar lagi. “Kami tidak mempunyai rumah yang dapat melindungi kami dari malam dan dingin,” jawab sang wanita. “Kenapa anak-anak kecil itu menangis?” tanya Umar.
“Sesungguhnya mereka sedang lapar,” tukas wanita itu. “Apa yang ada di dalam periuk ini?” tanya Umar. “Batu-batu yang aku panaskan dengan maksud untuk membuat mereka terdiam hingga akhirnya mereka tertidur. Demi Allah, kami merasa kesal kepada Umar,” keluh wanita itu. Wanita tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Umar. Maka, Umar berkata, “Ada apa dengan Umar?” Sang wanita menjawab, “Dia telah menjadi pemimpin kami, tetapi kemudian dia melalaikan kami!”
Umar pun segera pergi menuju Baitul Maal. Sesampainya di sana, dia mengambil satu karung tepung dan beberapa lemak. Umar berkata kepada pembantunya, “Angkatlah barang-barang ini ke pundakku!” “Biar aku yang membawanya, wahai Amirul Mukminin,” kata pembantu itu. “Apakah kamu siap untuk menanggung dosa-dosaku pada hari kiamat nanti?” tukas Umar.
Umar pun, akhirnya, sampai di tempat wanita itu setelah membawa sendiri tepung tersebut.
Sesampainya di sana, dia melempar tepung itu, lalu dia berkata kepadanya, “Tuangkanlah tepung itu, biar aku yang membolak-balikkannya.” Umar meniup api hingga asap keluar dari sela-sela jenggotnya yang lebat. Umar memasak makanan untuk wanita tersebut dan anak-anaknya, kemudian dia meletakkan makanan itu di sebuah piring besar untuk diberikan kepada anak-anak kecil itu. Umar memberi langsung makanan itu kepada mereka hingga tangisan mereka tidak terdengar lagi, dan setelah itu mereka pun tertidur.
Wanita itu, kemudian, berkata kepada Umar dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa orang yang diajaknya berbicara adalah Umar, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh, kamu lebih berhak memegang kepemimpinan ini daripada Umar.” Umar pun meninggalkan wanita itu, lalu dia berkata kepada pembantunya, Aslam, “Sesungguhnya kelaparan telah membuat mereka tidak dapat tidur. Maka, aku pun tidak mau meninggalkan sampai mereka benar-benar merasa kenyang.”
Semoga, kita mengerti arti lapar dalam ibadah puasa ini. Kelaparan yang tersengaja, bukan kelaparan yang tidak boleh tidak terpaksa harus diterima dan dijalani.