Jakarta (24/8). Agama menjadi sesuatu yg tidak bisa dilepaskan. Pada moderasi beragama, adalah cara membangun kemaslahatan umat, toleransi, memuliakan manusia. Menteri Agama era SBY, Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan hal tersebut pada Webinar Kebangsaan yang digelar DPP LDII (24/8) secara hybrid.
Webinar tersebut bertema “Beragama dalam Bingkai Kebangsaan Untuk Merawat dan Menjaga Keutuhan Bangsa”. Dengan tujuan menciptakan suasana persatuan dan kesatuan bangsa melalui program moderasi beragama.
Lebih lanjut menurut Lukman Hakim, agama jangan sampai berlebihan dan melampaui batas. “Bukan memoderasi agamanya tapi cara kita memahami ajaran agama dan cara mengamalkannya,” jelasnya.
Ia menambahkan, ciri bangsa Indonesia adalah keberagaman dan keberagamaannya. Karenanya dengan moderasi beragama bukan menciptakan agama baru, melainkan penerapan pokok agama yang sudah diajarkan sejak dulu. Ajaran tersebut relevan dengan kebutuhan masa kini yang semakin global.
Lukman menjelaskan ajaran agama itu selalu mengandung dua kategori yang bisa dibedakan. Ajaran bersifat universal yang nilai-nilainya diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh manusia di dunia bahkan bagi orang yang tidak beragama sekalipun. “Contohnya seperti memanusiakan manusia, menghormati orang tua, memuliakan yang muda,” ujarnya.
Moderasi beragama fokus pada bagaimana agar semua umat beragama lebih mengedepankan nilai agama yang universal. “Karena nilai agama yang universal merupakan inti dari ajaran agama,” ujarnya.
Adanya perbedaan nilai agama secara particular atau tertentu supaya saling menghargai dan menghormati. “Keragaman harus dimaknai secara positif, disikapi secara bijaksana. Cara pandang tentang agama untuk menebarkan kebajikan sehingga menghadapi keragaman itu bukan sesuatu yang negatif, melihat perbedaan bukan ancaman, dan tidak menganggap musuh,” tambahnya.
Saat menjabat sebagai Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin mencetuskan gagasan moderasi beragama. Menurutnya, moderasi beragama yang diperlukan Indonesia adalah bangsa agamis.
“Karenanya, paham dan amalan keagamaannya itu harus tetap dijaga dan dipelihara serta dirawat dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai bangsa Indonesia yang sangat agamis ini memiliki paham keagamaan yang melampaui batas atau istilahnya ekstrimis,” ujarnya.
Oleh karenanya, cara beragama harus senantiasa terjaga kemoderatannya sehingga pesan utama dari agama itu betul-betul tidak hanya bisa dipahami tapi juga dapat diejawantahkan dan diamalkan oleh setiap umat beragama.
“Di situlah tantangan bagi kita setiap umat beragama karena nilai agama itu selalu mengandung nilai-nilai yang universal namun juga ada yang partikular maka dalam kemajemukan masyarakat lebih mengedepankan nilai-nilai agama yang sifatnya universal itu,” tambah Lukman.
Bukan yang sebaliknya, katanya, yaitu nilai-nilai partikular yang dikedepankan, karena berpotensi timbul konflik.
“Saya pikir perannya LDII sangat besar. Harapan masyarakat sangat besar kita tahu LDII adalah ormas yang mempunyai sejarahnya tersendiri,” ujarnya.
Dia menambahkan, seperti yang disampaikan Ketua DPP LDII, Singgih Tri Sulistiyono, LDII memiliki sejarah tersendiri yang disebutnya menjadi beban sejarah sampai saat ini. Inilah tantangan dan hambatan LDII untuk bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa LDII yang sekarang sama sekali berbeda dengan yang dulu.
“Karena kiprah LDII dengan paradigma barunya, sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk ikut berkontribusi dalam menjaga dan merawat Indonesia kita yang agamis,” tuturnya.
(Chafida/LINES).