Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Mari mengenang kembali rembulan. Satelit bumi, yang setia dengan penuh ayat dan tanda. Datang setiap hari bersama hadirnya pergantian siang dan malam. Putarannya menjadi dasar perhitungan dan penanda-penanda lain masalah hidup dan kehidupan, termasuk tentunya di dalamnya masalah ibadah. Allah dengan rapi menjelaskan;
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَٰبِهَا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS Al-Baqarah:189)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَأَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Luqman:29)
Sayangnya, di abad milenial ini, sudah jarang orang yang menyempatkan diri menikmati suguhan indah sang rembulan. Banyak menu berlalu, yang sebenarnya disampaikan oleh sang rembulan sebagai peringatan. Misalnya seperti doa setiap melihat hilal baru, atau tanggal 1 setiap bulan. Yang sering justru menjadikan perbedaan dalam penentuan hari raya. Berikutnya ada puasa mutih, yaitu puasa di hari-hari bulan purnama penuh. Maksudnya puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan, pada penanggalan qomariah. Ada juga yang menyebut puasa yaumul bidh. Puasa 3 hari, yang pahalanya sama dengan puasa sebulan penuh. Ada gerhana bulan, dimana sholat gerhananya banyak dilewatkan. Dan yang paling penting lagi adalah peringatan kisah pecahnya rembulan sebagai mukjizat zaman Rasulullah SAW. Bahkan Allah mengabadikan peritiwa besar itu di dalam kitab suciNya;
اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ وَاِنْ يَّرَوْا اٰيَةً يُّعْرِضُوْا وَيَقُوْلُوْا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (QS. Al Qamar: 1-2)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرِيَهُمْ آيَةً فَأَرَاهُمْ الْقَمَرَ شِقَّتَيْنِ حَتَّى رَأَوْا حِرَاءً بَيْنَهُمَا
Dari Anas bin Malik radliallahu anhu, sesungguhnya penduduk Makkah meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar beliau menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (mukjizat). Maka beliau memperlihatkan kepada mereka di mana bulan terbelah menjadi dua bagian hingga dapat terlihat gua Hira dari celah di antaranya. (HR. Bukhari)
Rembulan sekarang kalah dengan kemilau cahaya lampu-lampu kota. Ditambah hilir-mudik kesibukan dan lalu-lalang kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dan harus dipenuhi, teduh cahaya rembulan tidak mampu lagi menerobos jiwa-jiwa lelah manusia. Dulu kala malam begitu asri menanti. Mengusir penat dan payah penuh arti. Sekarang malam seperti kubah panas yang memerangkap yang segera harus ditendang. Tak ada lagi jiwa-jiwa yang gembira menikmati anugerahnya, seperti yang digambarkan dalam lagu-lagu lama para pujangga; mumpung jembar kalangane, mumpung padang rembulane (Ilir-Ilir, Wali Sanga). Padahal Allah masih memberikan kelonggaran;
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.” (QS Ibrahim:33)
Dari kondisi semacam ini, akibatnya melahirkan banyak sekali jiwa-jiwa payah yang gelisah dan resah. Walau gemerlap terang kehidupan malam kota dan desa pada kenyataannya, tetapi gelap dan suram di dalam jiwanya. Dikira terang cahaya kota membawa bahagia, justru sebaliknya malah menderita. Cirinya adalah mencari semuanya melalui pikiran yang kritis. Jangankan dirinya, orang tua dan pemerintah, bahkan Yang Maha Kuasa pun sering dinilai salah. Sebagai akibatnya, semakin keras ia mencari jawaban melalui pikiran kritis, semakin resah jiwanya. Padahal, kembali pada pengajaran tentang ayat rembulan di atas, pikiran kritis serupa bayangan rembulan di kolam. Bila seseorang mencoba menyentuh bayangan rembulan, ia tidak berjumpa cahaya di sana, melainkan tangan dan badan yang basah.
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nur:35)
Dengan pengandaian bahwa pikiran kritis adalah bayangan rembulan, maka layak direnungkan untuk melangkah berlawanan arah dengan pikiran kritis. Bila mengikuti bayangan rembulan hanya berjumpa badan yang basah, maka arah sebaliknya betul-betul melangkah menuju rembulan untuk tercerahkan. Ciri utama pikiran kritis adalah penuh keraguan, maka arah yang berlawanan adalah keyakinan dan kepercayaan. Ciri lainnya adalah licik, sehingga lawannya adalah tulus dan jujur. Ciri yang lain adalah pelit dan egois, maka dioboati dengan kedermawanan. Bila pikiran kritis dicengkeram dalam oleh dualitas, maka arah yang berlawanan adalah melampaui dualitas. Itu sebabnya, di jalan spiritualitas mendalam semua memulainya dengan rasa percaya (iman), semua melatih diri untuk tulus dan jujur (karena Allah), menyerah dan penuh totalitas (tawakal) sehingga semua dualitas bisa dilampaui. Sampai di sini, cahaya rembulan seolah menuntun dengan mesra untuk memahami dan meyakini Kalam Allah berikut ini;
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ
“Sesungguhnya yang disebut orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS Al-Hujurat 15)
Namun, belajar dari sini juga, maka tidak perlu membuang waktu dengan terus menunggu dan menunda. Sebab akan terbuka tabir kegelapan dan terbit cahaya pencerahan. Semuanya akan tampak Indah, dimana masa lalu penuh pelajaran, masa depan sumber inspirasi, dan masa kini adalah hadiah terbaik yang dimiliki manusia. Makanya, dalam bahasa inggris masa kini disebut the present (hadiah). Jiwa-jiwa yang sudah padang mengerti, tidak ada yang perlu ditunggu, dan tak ada yang perlu dicemaskan. Jiwa-jiwa yang sudah tercerahkan memahami, yang ada hanya masa kini yang perlu diisi dengan amalan-amalan kebaikan, terus dan abadi, walau hanya sedikit akan tetapi pasti. Mari nikmati kehadiran rembulan. Bisa di awal malam, jika langit tidak berawan. Bisa tengah malam ketika malam sudah penuh aroma peraduan. Boleh di sepertiga malam akhir, tempat sebenarnya bersemayam, hati berdiri bertemu Sang Kekasih Abadi. Rasakanlah lembut cahayanya. Sampai di sini, akan datang pencerahan bahwa jiwa serupa bulan purnama. Ia bercahaya, berguna, penuh manfaat, tapi tidak membikin silau sekitarnya. Melingkar sempurna penuh anggunnya. Itulah renungan indah rembulan yang penuh makna. Dalam hal ini Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَءَامِنُواْ بِرَسُولِهِۦ يُؤۡتِكُمۡ كِفۡلَيۡنِ مِن رَّحۡمَتِهِۦ وَيَجۡعَل لَّڪُمۡ نُورً۬ا تَمۡشُونَ بِهِۦ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (٢٨)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28).
Dan sampai-sampai, ketika mengulik pendalaman rembulan ini, saya pun senyum-senyum sendiri. Bukan senyum kebanggaan, akan tetapi senyum kepayahan. Saya tersenyum karena menertawakan diri sendiri, mendobrak kedunguan mental selama ini. Persis seperti pesan tua yang sering disebutkan para guru pembimbing kehidupan ini. Katanya: “Bila orang bijak menunjuk bulan, yang dilihat orang bodoh adalah jari.” Dan beginilah jadinya, kala tersadar ternyata selama ini saya termasuk di dalamnya, hanya memperhatikan jari-jemari saja. Bukan malu dikatakan bodoh, karena memang bodoh. Tetapi malu orang bodoh mengaku pintar. Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni. Amin.