Observatorium Imah Noong menjadi destinasi belajar mengamati hilal. Ia didedikasikan untuk siapa saja yang mempelajari astronomi sekaligus mempelajari ilmu falak.
Berbicara mengenai hilal, mayoritas umat Islam sudah sangat familiar dengannya. Secara harfiah, hilal adalah fenomena astronomi yang terjadi ketika bulan baru pertama kali terlihat di cakrawala sebagai selembar bulan sabit tipis yang terang.
Hilal terjadi karena perbedaan sudut antara posisi bulan, matahari, dan bumi. Hilal menandakan berakhirnya suatu bulan dan dimulainya suatu bulan yang baru.
Bagi umat muslim, hilal adalah salah satu fenomena astronomi yang penting, karena penentuan awal bulan Ramadan dan Idul Fitri bergantung pada pengamatan hilal. Selain itu, hilal juga menjadi benda langit yang menarik untuk diamati dan dipelajari oleh masyarakat umum maupun para astronom.
Salah satu tempat yang kerap kali menjadi destinasi untuk mempelajari astronomi dan benda-benda langit adalah observatorium. Ketika mendengar kata observatorium, mungkin kebanyakan dari kita hanya mengenal Observatorium Bosscha, sebagai observatorium tertua dan terbesar di Indonesia yang terletak di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Namun, selain Observatorium Bosscha yang memang sudah sohor, Kabupaten Bandung Barat juga punya Observatorium Imah Noong sebagai tempat pengamatan benda-benda langit dengan konsep yang lebih sederhana.
Asal-muasal nama Imah Noong berasal diambil dari dua kata bahasa sunda, Imah yang berarti Rumah, dan Noong yang berarti Mengintip. Sehingga Imah Noong diartikan sebagai tempat untuk melakukan pengamatan astronomi (mengintip langit).
Jangan bayangkan observatorium itu sebesar Bosscha. Imah Noong hanyalah sepetak rumah kecil berukuran tidak lebih dari 3×2 meter, yang di dalamnya ada satu teropong dan satu teropong portable. Di sebelahnya, terdapat sebuah bangunan berbentuk dome yang diberi nama Musholatorium. Bangunan yang bisa menampung 25 orang dewasa itu digunakan sebagai mushola, sekaligus tempat pertunjukkan tayangan dan film yang berkaitan dengan benda langit.
Observatorium Imah Noong berada di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang. Bagi orang awam, mungkin akan kesulitan untuk menemukan di mana lokasi Imah Noong. Untuk menuju ke sana, kita harus melewati jalan sepatak yang diapit oleh rumah-rumah warga. Namun, siapa sangka, tempat ini adalah gudang edukasi bagi mereka yang tertarik memperdalam ilmu astronomi.
Sosok di balik berdirinya Imah Noong ialah Hendro Setyanto, pria asal Semarang yang sempat aktif menjadi asisten riset kemudian koordinator kunjungan publik di Observatorium Bosscha. Hendra Setyanto bukan orang baru di dunia astronomi. Ia sudah wara-wiri berkecimpung di dunia astronomi sejak 1993, saat ia duduk di bangku kuliah di jurusan astronomi Institrut Teknologi Bandung (ITB).
Ide untuk mendirikan Observatorium Imah Noong mencuat sejak tahun 2012. Idenya tersebut terealisasi di tahun 2014, saat pertama kali Imah Noong diresmikan. Sejak pendiriannya, konsep yang ditawarkan Imah Noong adalah wisata edukasi. Lewat observatorium mini buatannya, ia ingin menumbuhkan kecintaan generasi muda pada sains, terutama bidang astronomi.
“Astronomi atau ilmu falak merupakan ilmu yang disandarkan pada observasi. Akan sangat menarik kalau generasi muda kita ajak untuk menyaksikan fenomena alam tersebut secara langsung,” ungkapnya.
Pagi itu, puluhan peserta Tim Rukyatul Hilal DPP LDII berkunjung ke Imah Noong. Tujuannya tak lain adalah untuk menggelar “Pelatihan Teknik Hisab Rukyat” yang ditujukan bagi pengurus pondok pesantren naungan LDII, pada Sabtu (25/02). Disana, mereka memperdalam teori dan praktik teknik hisab dan rukyat. Dua teknik yang acap kali digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriyah dalam kalender Islam.
“Ini berkaitan dengan sebentar lagi kita akan memasuki bulan ramadan. Kita membawa beberapa alat teleskop kita untuk disetting ulang, sekaligus menambah wawasan ilmu falak untuk mempertajam pengetahuan,” ungkap Ketua Tim Rukyatul Hilal DPP LDII, Wilnan Fatahillah.
Di sana, mereka dibekali materi dan praktik teknik rukyatul hilal, olah citra hilal, pengukuran arah kiblat, rukyat fajar, dan simulasi gerak bintang. Melalui pelatihan ini, Wilnan berharap para peserta dapat meningkatkan keterampilan dan akurasi dalam mengamati hilal.
“Harapannya kami mendapat bekal ilmu yang cukup sebelum merukyat hilal sehingga tidak terjadi salah tafsir dalam melihat hilal. Ini hal yang penting untuk membantu pemerintah dalam menentukan awal bulan Ramadan maupun Syawal nanti,” tuturnya. (FU/LINES).