Suatu ketika, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah menjadikannya sebagai orang yang Faqih Fiddin”. Hal tersebut diungkapkan Guru Pondok Pesantren Wali Barokah, Ust. H. Ichwan Abdillah.
Menurut Ichwan, sabda Rasulullah SAW mengenai ilmu agama, yang dimaksud fakih fiddin adalah memiliki kepahaman dalam syariat agama yaitu khususnya agama Islam. Sementara kebaikan sebagaimana yang dimaksud dalam sabda Rasulullah SAW, tentu bukan hanya kebaikan di alam dunia, bukan berupa materi kekayaan ataupun jabatan bahkan kehidupan yang terpandang di tengah-tengah masyarakat. Namun kebaikan yang dimaksud adalah mencari ilmu akhirat sebagai contoh dijelaskan Ustaz Ichwan Abdillah dalam tanyangan ‘Oase Hikmah’ bertajuk ‘Pentingnya mencari ilmu’.
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS al-Bayyinah [98]: 7).
Dari Anas Bin Malik RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada kebaikan yang sejati, kebaikan yang sesungguhnya kecuali kebaikan di akhirat.” (HR Muttafaqun ‘alaih).
“Sebagai orang beriman yang meyakini kebenaran Al-Quran sebagai firman Allah dan Al-Hadits sebagai sunnah Rasulullah SAW, bagi kita sudah jelas bahwa tujuan pokoknya adalah agar mendapatkan kebaikan dalam kehidupan yang kekal abadi, kehidupan di akhirat. Sedangkan kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang fana, suatu saat semua ini akan binasa, akan hilang,” jelasnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 20 yang maknanya: “Tidak ada kesenangan kehidupan di dunia ini, kecuali kesenangan yang menipu dan membujuk kita semua.”
Karena pada akhirnya manusia akan hidup di alam yang kekal abadi, di alam akhirat. Karena itu Al-Quran dan Al-Hadist diwahyukan oleh Allah kepada umat manusia, tujuan pokoknya memberitahukan kepada umat manusia untuk bisa mendapatkan kehidupan yang baik di alam akhirat.
Ada tiga ilmu utama yang wajib dikaji, apa saja ya?
Rasulullah SAW juga mengatakan “Barang siapa berjalan menempuh suatu jalan dengan tujuan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan orang tersebut menuju surga.”
Tentu ilmu yang dimaksud tidak semua ilmu. Ilmu yang dimaksud Rasulullah yaitu ada tiga ilmu. Tiga ilmu tersebut merupakan ilmu yang wajib dikaji, dipelajari dan dikuasai, selain ketiga ilmu tersebut hanya bersifat tambahan bagi para umat. Apa saja kah tiga ilmu tersebut?
- Firman Allah SWT yang dijadikan buku, yaitu kitab Al-Quran
- Sunnah Nabi yang tegak, sunnah ini dapat kita ketahui dalam kitab Al-Hadits
- Ilmu Faroid (ilmu pembagian waris yang adil), dimana ilmu tersebut juga terdapat dalam kitab Al-Quran dan Al-Hadits.
Ichwan mengajak generasi muda kaum muslimin untuk mengkaji ilmu yang wajib diketahui, yang wajib dimiliki, mari belajar Al-Quran dan Al-Hadits. Karena untuk menjadi fakih dasarnya adalah ilmu, dan itu perlu upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Ilmu bisa diperoleh dengan cara belajar dan kepahaman itu hanya bisa diperoleh apabila melakukan usaha untuk mencari kepahaman agama, yang sumbernya adalah ilmu didalam kitab Al-Quran dan Al-Hadits.
Lalu bagaimana cara kita mempelajari kitab Al-Quran dan Al-Hadits?
Maka tentu kita memerlukan bimbingan seorang guru, karena Al-Quran dan Al-Hadits Allah turunkan kepada Rasulullah, yang sekaligus sebagai guru yang mengajarkannya kepada para sahabat. Dan ini berlaku dari zaman ke zaman, para sahabat mengajarkan kepada para tabiin, tabiin mengajarkan kepada murid-muridnya dan seterusnya.
Para ulama adalah pewaris nabi dalam segi keilmuan agama, “Al ulama warisatul an biya”
Karena itu ketika kita belajar Al-Quran dan Al-Hadits mutlak kita harus belajar kepada ulama yang menguasainya. Pada umumnya di pondok-pondok pesantren, para Kyai pondok, para guru pondok. Pada umumnya mereka telah mumpuni dalam menguasai ilmu Al-Quran dan Al-Hadits, tentu dengan kemampuannya masing-masing. Tapi setidaknya bimbingan guru akan mengarahkan kita, sebab para guru pun ketika mengajarkan ilmu Quran dan Hadits, mereka telah dituntut dengan kitab-kitab rujukan agar di dalam mengajarkan Al-Quran dan Al-Hadits tidak menurut kehendaknya sendiri.
Seperti kita mengaji Al-Quran, maka tuntunannya adalah kitab tafsir Al-Quran, di antaranya Tafsir Al Muhtab yang Muhtaba yaitu Tafsir Ibnu Katsir atau Tafsir Jalalid dan kitab tafsir yang lain. Itu sebagai pegangan guru di dalam mengajarkan Al-Quran agar pengertian-pengertian, makna, keterangan, dan pemahaman dari Al-Quran tidak lepas dari pemahaman para ulama.
Demikian pula dalam mengkaji kitab Al-Hadits, kita kenal kutubusithah yaitu kitab hadist yang diakui para ulam sebagai kitab hadist yang pokok, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An Nasai, Sunan Abi Dawud, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Ketika mengkaji hadist tersebut, juga berdasarkan rujukan dari para ulama, seperti Sahih Bukhari, dikaji berdasarkan Syarah Fathul Bari atau Syarah Irsyadu Syari. Sementara Sahih Muslim dikaji berdasarkan An-nawa, mengkaji kitab Sunan Nasai berdasarkan syarah atau keterangan dari Imam Ashyudi, dan lain-lain.
Sehingga upaya belajar Al-Quran dan Al-Hadits, menurut Ust Ichwan bila memang mampu, harus belajar di pondok-pondok pesantren. Dengan guru-guru yang mengajarkan Al-Quran dan Al-Hadits, lalu bila kita tidak mampu langsung berguru dengan guru-guru pondok, kita bisa belajar melalui para mubaligh dan mubalighot.
“Karena mereka menyampaikan apa saja yang mereka terima dan mereka dengar dari para guru untuk bisa dimasyarakatkan, disampaikan kepada umumnya umat Islam yang tidak punya kesempatan untuk belajar langsung kepada guru-guru yang ada di pondok pesantren,” tuturnya. (inggri/lines)
Ajkh, mendapat siraman dari gurunya guru yang terus istiqomah menetapi QHJ. Semoga Allah paring manfaat dan barokah.