Jakarta (6/6). Persoalan besar dalam kehidupan beragama adalah bangkitnya radikalisme dalam beragama. Pihak-pihak yang mengaku paling benar dalam beragama memicu kekerasan sektarian, yang saat ini jadi masalah di berbagai negara. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
“Alhamdulillah, Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan rahmat. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila menjadi modal sosial yang sangat besar dalam mengikis radikalisme di tengah masyarakat,” tutur KH Chriswanto. Pancasila tidak memiliki pertentangan satupun dengan agama-agama di Indonesia. Justru memperkokoh nilai-nilai dalam agama itu sendiri, sebaliknya kesesuaian itu membuat Pancasila menempati ruang tersendiri bagi umat beragama di Indonesia.
Namun, persoalannya pembumian nilai-nilai Pancasila di sekolah dasar, menengah dan atas menemui kendala. Sebagian guru belum mampu memberi contoh bagaimana mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bagi para siswa, “Bahkan, pada jenjang perguruan tinggi, pendidikan Pancasila sudah tidak ditemukan. Dulu terdapat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 untuk mahasiswa baru. Saat ini tidak ada lagi,” keluh KH Chriswanto.
Ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman mengenai Pancasila, tentu menjadi masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, “Pancasila adalah kutub moderat yang mengurangi tensi tinggi dalam keresahan sosial terkait suku, agama, dan ras di Indonesia. Padahal bangsa Indonesia ditakdirkan menjadi bangsa yang sangat plural,” tuturnya.
LDII menurut KH Chriswanto menyambut baik penetapan 1 Juni sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila. Peringatan Hari Lahir Pancasila bagi LDII tidak sekadar seremoni, tapi jadi pengingat dan evaluasi sejauh mana penanaman nilai-nilai Pancasila di majelis taklim, pondok pesantren, sekolah, dan perguruan tinggi yang bernaung di bawah LDII dijalankan.
“Kami instruksikan agar pondok-pondok pesantren berkonsep boarding school dan tradisional melaksanakan upacara bendera. Seremoni itu menjadi penyadar sekaligus evaluasi sejauh mana para siswa dan santri menjadi pribadi pancasilais,” ujar KH Chriswanto.
Senada dengan KH Chriswanto, Pengasuh Ponpes Al Ubaidah Kertosono, Nganjuk sekaligus pengurus Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) DPP LDII, Habib Ubaidillah Al Hasany, mengatakan alumni-alumni ponpes LDII, ditempa dalam bingkai nasionalisme. Kurikulum ditata selain mengenai kitab-kitab rujukan beragama juga mengenai wawasan kebangsaan, “Untuk keperluan itu, kami mengundang Muspida, Kementerian Agama, TNI-Polri, Kejati, dan MUI untuk memberikan pembekalan,” ujar Habib Ubaid.
Menurutnya, LDII menyadari benar bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman. Pluralisme bangsa Indonesia tanpa ideologi pemersatu seperti Pancasila, bakal buyar bahkan berpecah-belah. Pancasila, bagi Habib Ubaid menjadi konsensus dari kondisi bangsa Indonesia yang plural.
“Di pesantren, mereka kami jauhkan dari paham radikalisme. Saat mereka menjadi juru dakwah, mereka telah memiliki pondasi kuat dalam memandang keberagaman itu. Sehingga tetap bertoleransi, saling menghormati dan berakhlakul karimah atau berbudi luhur di tengah masyarakat. Dan bisa mendeteksi dini dan menghindari pergaulan yang memicu radikalisme,” imbuhnya.
Persoalan besar yang dihadapi umat beragama di Indonesia hari ini, adalah kemudahan mengakses informasi termasuk pemanfaatan informasi terkait paham-paham tertentu. Radikalisme kini sangat mudah disebarkan melalui media sosial, “Kami terus mengupayakan agar generasi muda LDII memanfaatkan internet secara bijak, tidak termakan hoaks apalagi memproduksinya. Nilai-nilai Pancasila ditanamkan sejak dini agar mereka tidak terpapar radikalisme,” pungkas Habib.
Mantap