Jakarta (24/8). DPP LDII menggelar Webinar Kebangsaan yang mengusung tema “Revitalisasi Demokrasi Indonesia Pasca Pemilu 2024” pada Rabu (23/8). Seminar secara daring dan luring tersebut menghadirkan Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Izzul Muslimin.
Mengawali diskusi, Izzul senada dengan moderator Singgih Tri Sulistiyono, yang mempertanyakan eksistensi, adakah Indonesia bisa melampaui di tahun 2045 atau bahkan lebih jauh lagi, mungkin 2100, atau malah mandek, di tahun 2030?
Menurut Izzul di dalam Alquran dikenali dua bentuk kematian, kematian individu mahluk dan kematian sebuah umat. “Setiap umat itu ada ajalnya. Indonesia juga bagian dari umat. Bedanya kalau manusia ajalnya terprediksi. Tapi untuk umat tidak ada ukuran yang jelas,” ujarnya.
Persoalannya adalah kita sama tidak dapat mengetahui berapa lama usia bangsa kita, Indonesia. “Kita perlu memiliki kesadaran bahwa bangsa ini pasti ada matinya, maka kita perlu menyadari lebih awal dan memunculkan kepedulian, agar selalu eksis dan bisa mempertahankan hidup sebagai bangsa dan negara,” kata Izzul yang juga pencipta Mars Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Kepada peserta webinar, Izzul menjelaskan kemerdekaan Indonesia diraih dengan cara yang berbeda, dibandingkan beberapa negara commonwealth lain. Indonesia merdeka melalui perjuangan, bahkan setelah merdeka pun, penjajahnya masih ingin kembali.
“Proses perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari civil society. Mulanya tumbuh nasionalisme di awal abad Ke 20, dari Sarikat Dagang Islam jadi SI (Serikat Indonesia), kemudian menjadi partai Sarikat Islam Indonesia. Kemudian organisasi-organisasi tumbuh termasuk Muhammadiyah di tahun 1912. Dari tumbuhnya perkumpulan rakyat itu akhirnya muncullah semangat nasionalisme,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa semangat mendirikan bangsa semakin terlihat saat adanya keputusan Kongres Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Ini kemudian menjadi titik balik bangsa dari situasi terjajah, menjadi bangsa yang merdeka hingga diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.
“Peran-peran perkumpulan rakyat prakemerdekaan hingga awal masa kemerdekaan bisa dikatakan cukup besar. Misalkan di awal kemerdekaan, laskar-laskar rakyat yang pada selajutnya menjadi embrio TNI (Tentara Republik Indonesia) diinisiasi oleh para perkumpulan rakyat,” papar Izzul.
Ia mengingatkan tumbuhnya perekonomian rakyat di masa itu, semisal persatuan koperasi batik Indonesia yang sempat menemui masa kejayaan di era tersebut. Namun sebaliknya, menurut Izzul saat ini peran civil society tidak lagi signifikan dan mengambil poros utama. Persoalannya, kehidupan ekonomi dan politik di Indonesia justru berada dalam bayang-bayang oligarki.
“Oligarki terbentuk berkat kebijakan negara yang tidak bersifat adil dan menguntungkan banyak pihak. Awalnya konglomerasi itu diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Namun pada akhirnya justru memunculkan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat,” ujarnya.
Pada era Orde Baru semua kekuasaan berada di tangan pemerintahan. Kekuasaan ekonomi dulunya dipegang oleh negara dengan tujuan perkembangan ekonomi. Akan tetapi pasca-reformasi, oligarki bermunculan.
“Oligarki saat ini masuk ke partai-partai politik. Bahkan sudah terlihat mulai dari proses rekrutmen kader politik. Pemegang modal paling kuat menjadi penentu arah kebijakan dan regulasi. Proses pembuatan kebijakan juga sangat terasa adanya campur tangan oligarki,” imbuhnya.
Ia mengutip penelitian populer, di mana hubungan antara negara, civil society dan korporasi, harusnya berada di tengah-tengah, namun agaknya malah terjadi “perselingkuhan” antara negara dengan korporasi ekonomi. Ini bukan semata-mata kesalahan satu pihak, melainkan juga kesalahan banyak pihak salah satunya adalah salah ormas itu sendiri.
“Ormas harusnya mendidik masyarakat, dalam proses Pemilu misalnya ormas harus bisa menjelaskan kepada masyarakat untuk tidak “dibeli” oleh politik instan, akan tetapi juga memikirkan dampak jangka panjang yang mungkin terjadi,” tutur Izzul.
Ia mengingatkan LDII dan Muhammadiyah, memiliki tujuan yang hampir sama terutama dalam pemberdayaan masyarakat. Demokrasi bangsa Indonesia harus dijaga dan diselamatkan dari praktik-praktik politik praktis.
“Saya setuju dengan Pak Chris bahwa demokrasi ini harus kita selamatkan. Kemerdekaan yang kita raih dengan penuh darah itu jangan kemudian di 2030 sudah tidak ada. Ormas supaya menjaga kemandiriannya. Kalau ini bisa dilakukan insyaAllah nasib bangsa kita mudah-mudahan bisa langgeng,” tutupnya. (Nisa/LINES)
syukron, senior atas masukannya