Liburan kali ini begitu menyita perhatian saya. Banyak rentetan kejadian yang membuat hidup lebih bermakna. Oleh karena itu, tidak saya lewatkan waktu liburan kali ini kecuali berusaha mencurahkan perhatian kepada anak-anak. Apalagi dari pengatur juga mengingatkan dengan serentatan dalil yang kita dengarkan dan kita copy di bulan Juni kemarin. Bahkan istri saya kalang kabut sampai jatuh sakit – kambuh tipesnya. Di antaranya juga karena ngladeni anak-anak di musim liburan kali ini- selain ngurusin sekolahnya sendiri. Maklum yang biasanya punya rutinitas pulang pergi sekolah dan bermain dengan teman-temannya, sekarang full time waktunya ada di rumah. Asramaan pun hanya beberapa hari saja. Akibatnya istri harus nemanin bermain, buat aktifitas dan nyiapain makanan yang ternyata katanya demand-nya jadi meningkat ketika musim lilburan tiba. Kecil-kecil ternyata jago makan dan ngemil juga anak-anak itu.
Anak perempuan saya yang paling gede naik ke kelas dua. Prestasinya cukup lumayan. Walaupun pernah mendapat nilai 4 sewaktu ulangan, pas THB kemarin nilainya cukup bagus. Kami sempat kuatir, sebab pas mulai THB kakeknya meninggal dan kita tinggal dia di rumah agar bisa ikut THB. Tapi Allah mengodar lain. Setelah kita tinggal ternyata dia jatuh sakit. Akhirnya ikut THB susulan. Dan sama gurunya yang harusnya sehari 2 mata pelajaran, anak saya disuruh mengerjakan 4 mata pelajaran sekaligus. Katanya biar nyusul teman-temannya dan cepat selesai. Alhamdulillah si anak masih mampu dan mendapat nilai yang lumayan. Dia masih memegang sabuk juara kelas plus hadiah yang cukup lumayan dari gurunya. Saya pun tak ketinggalan memberikan apresiasi kepadanya. Saya katakan, “Nduk Bapak bangga atas prestasimu, tapi Bapak lebih bangga lagi kalau dalam liburan ini kamu bisa khatamin K. Sholah.”
Tak ayal lagi selama liburan ini dia makin sibuk, bukan berlibur tapi manqulan K. Sholah. Kalau tidak dengan Bu Liknya ya dengan Mbak mubalighotnya. Senang sekali rasanya melihat kegiatan dan semangat yang ditunjukkan. Kadang saya tanya, “Sudah sampai halaman berapa? Apa perlu manqulan sama Bapak?”
“Sebentar Pak, jangan dulu. Nggak mau sama Bapak ahh! Malu…,” katanya.
Di rumah tangga kami seakan ada pembagian tugas. Untuk urusan pembelajaran sekolah istri saya ambil peran. Maklum dia kan pakarnya dalam ilmu sekolahan, wong sekarang saja masih sibuk dengan S2-nya. Nah, untuk ilmu agama saya banyak ambil peran, walaupun terkadang saya delegasikan juga lewat mamanya. Salah satunya seperti gerbangbuhnas yang pernah saya sampaikan tempo hari. Saat pagi tak lupa selalu saya bangunin bahkan saya gendong kalau perlu agar bisa subuhan. Alhamdulillah berhasil.
Anak saya yang kedua kemarin lulus TK dan sekarang masuk SD. Nggak mau kalah dia juga pengin masuk SD nyusul kakaknya. Saya usul masuk Sd yang dekat rumah dia menolak. “Nggak mau! “ katanya. Ya sudah toh ada fasilitas dari kantor istri saya. Jangan ditanya dia sudah bisa baca dan ngitung seperti kakaknya dulu. Anak saya yang kedua ini perkembangannya lain. Jago main, jago makan dan kurang konsentrasi. Karena itulah Mamanya jadi sewot. Sebab tidak seperti yang diharapkan. Muncul kecemasan dan rasa takut. Padahal beberapa teman dan rekan sejawatnya sudah mengingatkan, “Biasa, anak laki-laki memang begitu. Agak lambat perkembangannya dibanding anak perempuan. Nanti juga bisa!”
Perasaan itu juga sempat menulari saya. Sampai pada akhirnya saya pasrahkan semua itu kepada-Nya. Yang penting selama ini kami sudah memberikan yang terbaik buatnya dan mengarahkan kepada hal-hal yang benar, sebagai kewajiban dari amanat yang diberikan Allah kepada saya sebagai orang tua. Menemani bermain, mengasuh, membelajari, mengajari adab, dll. Dengan cara pandang seperti itulah, maka saya punya keyakinan dan harapan yang terucap lewat doa-doa saya untuk kebaikan dan kebahagian keluarga dan keturunan saya. Rab-bana hablana min azwajina qurrata a’yun waj-al lil muttaqiina imaman.
Semenjak TK A sampai TK B masih iqro 2 terus. Kalau dibelajari ngaji nglawan sama yang ngajar. Kalaupun mau cuma sekali baca sudah. Pakai acara muter-muter dulu, berdalilh dan beralasan, walaupun itu dengan saya sendiri. Tidak mau diajar sembarang orang. Dia milih yang ngajar. Saya ambil kesimpulan bahwa saya tidak boleh terpancing dengan sikapnya. Sebab dia masih anak kecil. Yang penting terus memperhatikan dan mengarahkan. Dan jangan bosen. Kakek sebelah saya bilang, “Biasanya anak yang nakal gedenya pinter.” Mudah-mudahan saja – Amin, kata hati saya.
Anak saya yang ketiga sekarang sudah berumur 8 bulan. Setiap kali saya pulang kantor selalu merengek dan menangis kepengin digendong. Bahkan kalau ditahan akan meronta-ronta. Dan setelah saya gendong pasti nggak mau diajak dengan yang lain. Makanya sama kakak-kakaknya yang sudah terpengaruh iklan AXE selalu dibilang gokil. “Pasti Maula gokil kalau lihat Bapak.” Kadang malah disuruh, “Ayo La, ayo La,… gokil, gokil !” terus ditenteng-tenteng ditunjukin ke saya. Tujuannya cuma satu agar dia nangis pas lihat saya. Dan dijamin pasti : akan gokil – minta digendong. Oalahhh,…dasar anak-anak!!!
Mari berinvestasi. Jadikan anak kita alim, setidaknya melebihi kita-kita sebagai orang tuanya. Ingatlah surat Thur ayat 21.
Oleh: Faizunal Abdillah