Jakarta (22/10). Kasus bullying yang marak belakangan menjadi sorotan warganet. Pasalnya, para pelaku adalah siswa berprestasi baik akademis maupun non-akademis. Ditemukan juga penelitian bahwa pelaku bullying cenderung anak yang supel, percaya diri, dan pintar.
Menurut Anggota Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan (PUP) DPP LDII Netty Herawaty terdapat ketidaksesuaian antara materi pendidikan yang diberikan bertahun-tahun dengan perilaku anak didik, terkait perkembangan usia namun tidak memiliki kemampuan dalam merekam pembelajaran.
Ia memaparkan hal itu pada Webinar “Gerakan PAUD Profesional Religius untuk Indonesia Emas 2045” di Kantor DPP LDII Patal Senayan, Jakarta, Sabtu (21/10). Netty memaparkan, ada dua jenis usia yakni usia perkembangan dan kronologis. Terkait terjadinya bullying, bisa jadi usianya 40 tahun, tapi kemampuan mengendalikan emosional seperti masih di bawah empat tahun, “Proses pembelajaran terdapat learning yang tidak jadi memori,” ungkapnya.
Karena itu, ia menekankan pendidikan perlu membuat metode pembelajaran sampai menjadi memori atau ingatan, terutama pada anak usia dini. Memory Learning itu memiliki tahapan, misalnya proses stimulus yang dibutuhkan pada usia 0-2 tahun. Jika tidak terproses dengan baik maka otak akan memasuki program penghapusan sel sebanyak 50 persen.
“Gagal mengolah setiap detik, Allah mengambil potensi tersebut. Surat At Tin jelas mengatakan, tidak ada anak yang salah cipta, karena Tuhan telah menciptakan sebaik-baiknya anak, dengan kepribadian apa pun,” ujar Netti.
Otak anak begitu lahir ke dunia sudah siap menerima pembelajaran. Menurut Netti, jika tidak diaktivasi, tidak akan muncul fungsinya. “Harus ada stimulusnya. Karena itu pentingnya guru, setiap orang yang berada di samping anak, itu guru,” katanya.
LDII melalui sekolah karakter yang digagas Departemen PUP memiliki tagline, semua rumah adalah sekolah, setiap orang tua adalah guru. Netti mengingatkan, karena itu setiap detik adalah belajar. “Sehingga akan diketahui, manusia yang berperilaku sekarang adalah bagaimana pembelajaran yang tersimpan di memori otaknya,” kata pakar pendidikan anak itu.
Pembinaan karakter yang dilakukan LDII dengan target SDM profesional religius, menurut Netty, sudah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas Pasal 3, yakni mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta peradaban bangsa. “Adab dulu yang pertama, dan itu ada hubungannya dengan critical thinking. Bukan hanya adab, tapi juga anak sehat, ketakwaan pada Tuhan,” Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Ia menambahkan, tujuan pendidikan adalah beribadah. Maka manusia, juga perlu memunculkan kecintaan beribadah, agar anak sejak usia dini mengenali pentingnya beribadah. Selain itu, anak perlu melatih sifat kepemimpinan dan karakter manusia Islam.
Menurut Netty, manusia telah diberi panca indera sejak lahir, maka hal itu bisa menjadi pintu pembelajaran. Prosesnya, informasi pembelajaran diterima indera dari syaraf tepi melalui telinga, kemudian diproses di otak, reaksi, kegiatan berulang, baru tersimpan di memori.
Pembelajaran tidak bisa menggunakan lembar kerja, karena otak melalui proses ingatan berulang. “Kemampuan membaca muncul, karena otak telah menyimpan hal itu dan anak ingat, lalu ia tinggal mengucapkan,” tutur mantan Ketua Himpaudi tersebut.
Prinsip mendidik anak usia dini, yang perlu dikembangkan adalah penemuan si anak itu sendiri, sehingga anak jadi menjadi termotivasi. Anak memiliki mirror-neuron, sehingga ia juga belajar melalui contoh. “Anak yang berakhlakul karimah, berarti guru dulu yang harus memiliki akhlak tersebut atau orang-orang di sekolah tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, jika anak belajar dengan kekerasan dan ancaman, justru mengganggu proses belajar dan kepribadian anak. “Ia mencontohkan, masalah di usia dini seperti tokoh Joker di filmnya, menjadi penyebab ia mengalami masalah kepribadian,” kata Netty.
Netty memberi tips, pembelajaran juga bisa diawali dengan permainan yang memiliki konsep. Ia mengatakan, di PAUD-nya anak dikenalkan pembelajaran 29 karakter luhur melalui proses bermain. Tujuannya, anak mengenali konsep tersebut dan mampu praktek dalam kehidupan sehari-hari.