Jakarta (23/10). Lingkungan pesantren bukanlah area yang tidak mengenal stress. Santri juga menghadapi hal tersebut apalagi misalnya, secara mental belum siap untuk ‘nyantri’ di pesantren. Perubahan kebiasaan sehari-hari yang terkadang menghasilkan ketidaknyamanan itu disebut stress.
Hal tersebut perlu ditangani dengan metode pendampingan, kata dokter spesialis kejiwaan, Riko Lazuardi yang memberikan pemaparan “Masalah Kesehatan Jiwa Lingkungan Pondok Pesantren” pada Diklat Pembekalan Kader Poskestren di Surabaya, pada Minggu (22/10).
Menurutnya, stress bukan hal yang memalukan, karena hal itu merupakan respon dari ketidaksesuaian akan tuntutan yang diterima serta kemampuan mengatasinya. “Dalam psikologi ada 2 stress, eustress dan distress, jika eustress mampu menghadapi stress yang dialami, sedangkan distress tidak mampu mengatasi masalah yang muncul,” katanya.
Lingkungan pondok pesantren (Ponpes) bisa jadi salah satu faktor penyebab stress, karena santri baru perlu beradaptasi, meski secara akademis baik, bisa jadi santri tidak menguasai non-akademis. “Karena itu sangat mungkin terjadi, penyebabnya faktor biologis, lingkungan, dan psikologis,” kata Riko.
Menurutnya, penanggulangan stress termudah adalah coping stress, baik secara emosi maupun masalah. “Dalam istilah psikologi maksudnya penanganan masalah. Contohnya mengelola emosi seperti jika marah maka dia berwudhu. Sementara itu, jika fokusnya pada masalah, maka ia berpikir kritis cara mengatasi masalah itu. Keduanya bisa dipakai tergantung bagaimana karakter stress yang dihadapi,” jelasnya.
Mengenai penanganan kondisi darurat akibat stress, Riko menerangkan, pasien perlu diajak ke tempat nyaman dan tenang, agar mampu meluapkan emosi atau menenangkan diri. Selanjutnya didampingi untuk relaksasi seperti mengatur napas atau jika perlu, dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. “Saat orang itu bercerita, didengarkan dulu, jangan direspon dengan bercerita masalah juga seperti adu nasib. Hal itu justru membuat si pasien malas cerita,” ujar Riko.
Gangguan jiwa akibat stress, Riko menyebut skizofrenia atau gangguan mental berat yang mempengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. Ciri khasnya adalah halusinasi, delusi, sikap dan perilaku tidak wajar, dan gangguan ekspresi emosi. “Penanganannya, tempatkan dengan satu orang untuk mendampingi yang pasien percaya. Jangan lakukan pemasungan atau hal yang melukai pasien. Tetap rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih kompeten,” katanya.
Selain itu, gangguan kecemasan juga bisa diakibatkan dari stress. Karena itu, Riko menyarankan, lingkungan ponpes perlu mengenali gejala awal pasien, yakni melalui peran pamong atau guru BK dalam memberi konseling, “Hindari menjatuhkan stigma kepada pasien dan sesuaikan beban tanggung jawabnya di ponpes. Yang terpenting, jaga kerahasiaan pasien. Hal ini agar di kemudian hari, pasien bisa termotivasi untuk pulih.”
Yang perlu diwaspadai, kata Riko, keinginan pasien gangguan jiwa untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri akibat depresi. Meski seringkali depresi menjadi kambing hitam (tanpa diagnosa ahli), namun ada baiknya menjadi concern jika terbukti mengidap depresi.
“Sering terjadi, karena beratnya masalah ada keinginan bunuh diri. Sementara di sekitarnya hanya bisa menasehati dan menyalahkan. Hal ini karena depresi atau keinginan bunuh diri masih dianggap tabu,” kata dokter RSUD Dr. Soetomo Surabaya itu.
Menghadapi situasi itu, Riko mengingatkan agar para pamong ponpes melakukan screening berkala terkait gejala depresi atau gangguan jiwa di kalangan santri. “Dampingi, dengarkan. Pengidap depresi biasanya mencari orang yang mau mendengarkan meski bukan solusi langsung,” ujarnya.
good idea..
Alhamdulillah
Aku lagi di masa ini…