Kediri (27/11). Pondok Pesantren Wali Barokah Kediri menggelar bedah buku karya Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak yang berjudul “Politik Pertahanan”, pada Senin (27/11). Buku tersebut mengupas berbagai dimensi dari pertahanan, yang tidak melulu persoalan militer.
Bedah buku tersebut menghadirkan pembahas Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Politik Mayjen TNI Nugroho Sulistyo Budi, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Singgih Trisulistiyono dan Dosen Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Ardito Bhinadi.
Dalam pemaparannya, Mayjen TNI Nugroho Sulistyo Budi mengatakan, penulis berbicara masalah politik dalam pertahanan negara. Pasalnya pembahasan pertahanan, selalu berkaitan dengan politik yang bersinggungan dengan pengambilan keputusan.
Menurutnya, pengambilan keputusan bukan sesuatu yang sederhana, mudah diucapkan namun sulit dan perlu pemikiran mendalam dalam implementasinya.
“Seringkali dalam keadaan aman, tenang dan tenteram banyak menganggap pertahanan tidak penting, banyak yang bilang kan tidak ada apa-apa dan baik-baik saja. Contoh sederhana, tidak perlu satpam kompleks karena situasinya tenang, tapi begitu ada masalah barulah kelimpungan. Itulah yang sering kita dihadapi saat ini,” ujarnya.
Ia menyebut, penulis buku bukan hanya membahas tentang politik pertahanan namun juga tentang ketahanan pangan, siber, keamanan maritim, dan lain sebagainya. “Karena negara kita ini kaya, negara Indonesia luas, dan negara kita banyak yang menginginkan,” lanjutnya.
“Ketika pangan tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat maka itu akan menjadi persoalan di bidang pertahanan negara. Hancurnya Indonesia bukan diserang dari luar tapi pecahnya sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Itulah yang paling berbahaya,” tutupnya.
Sementara itu, Guru Besar Sejarah Undip sekaligus Ketua DPP LDII mengatakan, jika melihat dari sejarah Indonesia di masa lalu sesungguhnya pertahanan menentukan keberlangsungan sebuah negara.
“Ratusan negara di nusantara lahir dan tenggelam akibat dari konflik internal. Mulai dari Kerajaan Kalingga, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Kutai dan lain sebagainya. Salah satu faktor hancurnya kerajaan-kerajaan itu karena mereka tidak mampu melaksanakan pertahanan,” ujarnya.
Kerajaan itu, tambah Singgih, mengalami kehancuran dalam pertahanan karena ada konflik internal, seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Malaka dan sebagainya. “Sebabnya, ada disintegrasi konflik dan intrik internal di antara para elit. Untuk itu, buku yang ditulis oleh bung Dahnil Anzar Simanjuntak supaya tidak hanya belajar sejarah tapi juga belajar dari sejarah,” ungkapnya.
“Jangan sampai Indonesia yang berumur kurang dari 100 tahun mengalami siklus kehancuran seperti negara-negara yang pernah ada di Nusantara,” tambahnya.
Singgih menambahkan, negara yang “toto tentrem kerto raharjo” yakni negara yang punya pertahanan dan keamanan yang kuat merupakan conditio sine qua non bagian upaya untuk menciptakan negara yang ‘gomah ripah loh jinawi’.
“Buku ini merupakan ekspresi bahwa pertahanan merupakan investasi bukan biaya. Sudah waktunya politik pertahanan bukan hanya menjadi domain elite politik dan negara, namun rakyat juga harus terlibat terhadap isu-isu pertahanan. Sebab dalam Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata), rakyat juga menjadi salah satu elemen pertahanan negara,” paparnya.
Untuk membangun ‘Sishanrata’ diperlukan sosialisasi dan internalisasi ideologi dan pilar kebangsaan yang lain sehingga lahir rasa “Mulat
Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungi’.
“Bangsa Indonesia lahir dari proses sejarah, oleh sebab itu para pemuda harus diajari sejarah kebangsaan untuk membangkitkan
semangat kebangsaan dan nasionalisme,” tutupnya.
Pembahas lain, Dosen Ekonomi UPN Veteran Yogyakarta sekaligus Ketua DPP LDII Ardito Bhinadi menyoroti sisi ekonomi yang dimuat dalam buku tersebut. Menurutnya, keterpurukan ekonomi dunia termasuk Indonesia adalah saat terjadinya pandemi Covid-19.
Ia juga menyebut, pada tahun 1918-1920 juga mengalami pandemi yakni Flu Spanyol. “100 tahun sebelum pandemi Covid-19 juga terjadi pandemi yakni flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918-1920. Setelah itu muncul lah krisis pangan dan krisis ekonomi,” tuturnya.
Apakah pascapandemi Covid-19, Indonesia mengalami krisis sebagaimana yang terjadi 100 tahun yang lalu. Keadaan itu diperparah akibat perang Rusia dan Ukraina yang berdampak pada krisis ekonomi dunia. “Tidak berhenti sampai di situ, muncul lagi perang antara Kelompok Hamas dan Israel. Jika tidak dikelola dengan baik dampaknya bisa meluas ke negara-negara yang lain,” ujar pakar ekonomi syariah itu.
Ardito juga melihat bahwa ada sebuah pergeseran kekuatan dari Barat (Amerika, Eropa dan lainnya) ke Timur (China, India, dan lainnya).
Secara geopolitik terjadi keseimbangan baru kekuatan dunia. Dalam World Economic Forum 2020 terjadi great reset yaitu penataan ulang dunia menjadi dunia serba digital.
“Saat ini terjadi perang yakni perang mata uang, perang siber, dan teknologi. Ketika negara menguasai teknologi maka dia lah yang akan menang. Oleh karena itu, melek terhadap politik pertahanan berarti harus melek terhadap geopolitik dan geoekonomi Indonesia,” tutupnya.
Penanaman mental religius dan nansionalis sangat diperlukan guna perkuat pertahanan Nasional.
Jaya terus LDII
Semoga Allah Paring aman selamat lancar dan barokah