Apakah ada di dunia ini yang lebih berarti daripada kebahagiaan? Semua orang pengin bahagia. Kepada kedua mempelai yang baru menikah, kita ucapkan semoga berbahagia. Pada proses kelahiran, kita juga sering berujar semoga anaknya hidup bahagia dunia dan akhirat. Dalam setiap kesempatan kita berdoa juga memohon kebahagiaan dunia wal akhirot. Doa sapu jagat. Semua orang nggak mau susah. Semua ingin bahagia. Semua orang mencarinya. Bahkan setiap orang rela berusaha siang – malam dan banting – tulang untuk meraihnya. Nggak kenal waktu. Nggak kenal lelah. Nggak ada kata menyerah. Bahkan sampai ada yang lupa diri. Apa sebenarnya yang dicari? Itukah kebahagiaan? Dimanakah ia?
Tapi, kadang semakin keras berusaha mendapatkannya, yang terjadi malah semakin menjauh. Semakin dikejar, semakin lari kencang. Semakin dipuji, semakin meninggi. Semakin dalam menyelam, semakin dalam tenggelam. Kebahagiaan yang didambakan, tak kunjung mendekat. Bagai pungguk merindukan bulan. Dan, darinya banyak cerita yang berujung duka, lantaran tak kunjung meraihnya. Frustasi. Kebahagiaan seolah barang super mahal, sesuatu yang susah didapatkan. Benarkah?
Dari Fadhalah bin Ubaid, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang diberi hidayah kepada islam dan kehidupannya cukup (tidak meminta – minta) dan menerima (nrimo – qona’ah dengan yang ada).” (Rowahu Tirmidzi – hadits hasan shohih)
Dari Abdullah bin Amr, bahwasanya rasulullah SAW bersabda, “Sungguh beruntung orang yang memeluk islam kemudian diberi rejeki yang cukup dan Allah menganugerahkan sifat qonaah (nerimo) dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (Rowahu Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kata mentor saya, Pak Haji Fauzan Luthfi, kata kunci hadist di atas adalah qona’ah – menerima. Dan menerima adalah perbuatan hati bukan? Setiap orang punya hati. Allah memberi hati kepada setiap diri. Dengannya orang bisa menjadi bahagia. Maka, jika kita ingin mencari kebahagiaan, perbaikilah hati. Poleslah, agar benar – benar kita tahu dan kenal dengan hati kita sendiri. Sebab perjalanan terberat dan terjauh adalah perjalanan masuk ke dalam diri sendiri.
Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari sebuah jarum yang hilang. Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tetapi selama sejam penuh mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.
Tetangganya pun bertanya, “Sebenarnya jarumnya jatuh dimana?”
“Jarumnya jatuh di dalam rumah,” jawab Nasruddin.
“Kalau jarum jatuhnya di dalam, kenapa mencarinya di luar?” tanya tetangganya.
Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, “Karena di dalam gelap, di luar terang.”
Begitulah, gambaran perjalanan kita mencari kebahagiaan dan keindahan. Sering kali kita salah arah, salah tempat. Banyak orang yang mencari kebahagian tetapi salah alamat. Kebanyakan orang mencarinya di luar. Banyak orang yang mencari kebahagiaan di luar obyek yang sebenarnya. Alhasil pencarian itu tidak mendapatkan apa-apa. Nihil. Gatot alias gagal total. Sebenarnya daerah tergelap dan terdalam dalam mencari kebahagiaan dan keindahan, adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak ‘sumur’ kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga mencarinya jauh-jauh, karena ‘sumur’ itu berada di dalam diri semua orang. Tetapi karena alasan ’gelap’, banyak orang meninggalkannya. Padahal sejatinya, setiap orang tinggal mengeksplorasi dan mengekspresikan apa yang di dalam diri masing – masing untuk menjadi bahagia. Tinggal membelokkan pencarian yang sekarang berorientasi keluar, menjadi mencari ke dalam diri masing – masing.
Jadi, untuk memulai perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan, mulailah mengenali diri sendiri, potensi dan indahnya karunia Alah yang telah diberikan kepada kita semua ini. Orientasi kedalam, bukan keluar. Berprinsip menerima, bukan grangsang (rakus). Yang dalam bahasa keimanan adalah penerapan syukur yang sebenar – benarnya.
Oleh : Faizunal Abdillah