Saya termasuk orang yang tidak pinter bertanya. Di sekolah, waktu kuliah, di pengajian, acara training, di rapat dan tempat pengajaran yang lain, jarang sekali saya mengacungkan tangan tanda bertanya. Mungkin kurang pede, itu alasan kuno. Atau bisa jadi karena jaim atau malahan sok tahu.
Padahal kalau ditanya juga nggak bisa menjawab. Terserah apa kata orang, yang jelas beginilah hidup. Tak semua orang harus bertanya untuk mengerti, dan tidak setiap pertanyaan ada jawabnya. Kadang malah mengerti sendiri itu jadi pertanyaan. Aneh bukan? Contohnya seperti ketika Nabi Musa minta kepada Allah untuk melihat wajahNya. Boro – boro lihat, malah pingsan.
Para leluhur mengatakan, jika tidak mengerti bertanyalah. Maka ada pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Tetapi setelah mengerti banyak juga yang terus bertanya dan bertanya lagi. Katanya untuk kepuasan. Nggak lega kalau nggak bertanya. Bertanya menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya terkandung maksud – maksud lain. Ada sesuatu dibalik pertanyaan itu. Ngetes misalnya, kita tak tahu. Bahkan sekarang bertanya ada sekolahnya, bagaimana bertanya dengan sopan dan tepat.
Yang lain ada yang memilih diam, tidak bertanya. Diam adalah emas, itulah mottonya. Mau ngerti ya diam. Nggak ngerti, ntar tanya kepada teman atau kapan – kapan. Ketika datang kesadaran atau pengertian – setelah sekian waktu, seringkali berteriak sendiri; Alhamdulillah ketemu juga sekarang, setelah sekian lama mencari. Oh, begini toh ternyata. Itu bisa terjadi tahunan, di saat yang lain sudah paham dan meninggalkan. Dia baru sadar. Jadi berubahlah pepatah di atas; malu bertanya, jalan – jalan. Itulah sifat sebagian manusia.
Bertanya boleh – boleh saja, asal tahu aturannya. Allah berfirman, Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun – Maka bertanyalah kepada ahli dzikir -orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl 43). Inilah aturan pokok bertanya, ketika kita memang tidak tahu. Dan bertanyanya juga kepada orang yang tepat. Aturan berikutnya adalah bertanya untuk menambah keimanan dan keyakinan. Seperti kisah Nabi Ibrohim minta kepada Allah untuk ditunjukkan bagaimana Allah membangkitkan orang yang mati karena: litathmainna qolbii. Atau kisah Uzair yang lewat di suatu kampong yang telah rata dengan tanah, sebagaimana Allah jelaskan dalam surat Al-Baqoroh ayat 259 – 260.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS al-Baqoroh 259)
Dan (ingatlah) ketika Ibrohim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibarohim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqoroh:260)
Jangan sok tahu seperti kisah Nabi Musa ketika berguru dengan Nabi Khidhir, atau pepeko seperti kisah Bani Isroil dengan Nabi Musa ketika disuruh mencari sapi betina untuk dipotong guna menemukan siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Lengkap sudah contohnya. Semua dari Bani Isroil. Maka tak heran kadang kita sering mendengar cap Bani isroil pada orang yang banyak bertanya. Seperti himbauan, jangan banyak bertanya nanti kayak Bani Isroil. Maklum, tapi esensi bertanya tetap harus ada karena dalam hal tertentu bertanya memang ada guna dan manfaatnya. Nah, sebenarnya kisah Bani Isroil ini masih ada baiknya. Tidak melulu jelek. Sebab walaupun sok tahu atau pepeko mereka tetap mengerjakan perintah. Walaupun yang tadinya gampang jadi susah. Karena sebenarnya yang paling bahaya adalah bertanya untuk merubah hukum dari halal menjadi harom atau sebaliknya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW, “Sesungguhnya lebih besarnya dosa muslim di dalam kaum muslimin adalah orang yang bertanya dari perkara yang tidak diharomkan maka kemudian diharomkan atas manusia sebab berasal dari pertanyaannya.” (Rowahu Abu Dawud Kitabu Sunnah 507).
Jadi, jangan seperti saya, yang nggak pinter dan nggak berani bertanya. Ngomong – ngomong pengin sesat di jalan atau jalan – jalan? Lho kok malah tanya? Katanya nggak pinter tanya dan nggak berani tanya. Oh maaf, ……. lupa.
oleh: Faizunal Abdillah