Jakarta (2/5). Saban 1 Mei, negeri ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Terkait hari penting tersebut, DPP LDII menyoroti kembali pentingnya pendidikan karakter yang direncanakan sejak usia prasekolah.
Ketua DPP LDII Bidang Pendidikan Umum dan Pelatihan Basseng Muin menuturkan, LDII telah menerapkan pendidikan karakter sesuai kebutuhan lokal. Sebagai lembaga dakwah, LDII turut merancang kurikulum sesuai karakter pembelajar Pancasila.
Salah satunya karakter kreatif, yang menurutnya adalah puncak pengetahuan. Pendidik perlu menanamkan karakter penemu, sehingga kreativitas menjadi tantangan.
Menurut Basseng, Kementerian Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenbudristek) beberapa waktu lalu telah menerapkan pendidikan karakter lewat pembelajar Pancasila, yakni semua karakter yang sejalan dengan pendidikan orangtua, sikap mandiri, berketuhanan, dan profesional.
Pelaksanaan pendidikan karakter pembelajar Pancasila itu memberikan keleluasaan bagi masing-masing satuan pendidikan sesuai kekhasan setiap daerah. Meski demikian, Basseng menegaskan, pemerintah tetap menetapkan aturan dan pantauan pada setiap satuan pendidikan. “Agar hal tersebut berjalan menyeluruh, tentu saja pemerintah perlu terus mendampingi,” ujarnya.
Tantangan utama pendidikan berada pada sekolah dan implementasi adalah guru. Kemungkinan tidak siap ada, karena itu pemerintah perlu menjadi fasilitator. “Tentu jadi pertanyaan, apakah guru bisa implementasi kurikulum baru? Bisa jadi belum siap, karena itu perlu persiapan dengan dampingan,” ujarnya.
“Bagi sekolah yang telah siap, maka secara mandiri berjalan, sedangkan sekolah yang masih tertinggal, maka ini yang perlu pendampingan,” kata dia. Anggapan belum siap ini, sebagai antisipasi risiko penerapan kurikulum baru tersebut. Basseng menegaskan, level transisi setiap daerah pasti berbeda.
“Ada yang cepat maju, ada yang tertatih, karena itu pemerintah perlu memastikan jangan sampai ada daerah yang tertinggal dan perlu dibantu,” ujar Basseng.
Mengenai sistem ranking yang masih dianut Indonesia membuat persaingan tak bisa dihindari. Basseng menambahkan, kemajuan datang dari upaya negara itu sendiri. “Secara global, ada tolok ukur PISA (Programme for Internationale Student Assessment) yang menetapkan dari tiga kategori penilaian akademik, sehingga mau tidak mau harus berkompetisi. Tapi sebagai sesama elemen bangsa, harus bisa kolaborasi,” katanya.
Karena itu, dalam kurikulum merdeka belajar, karakter gotong-royong itulah yang perlu ditonjolkan. Dari format pendidikan keagamaan atau umum, ia mengingatkan, para anak didik perlu memahami karakter gotong-royong. Istilahnya, sebagai sesama bangsa meskipun berbeda etnis, suku, dan lainnya tetap bekerjasama.
Basseng berharap, esensi pendidikan dapat mewujudkan sumber daya manusia yang nyata. Kurikulum merdeka yang nantinya mewujudkan Indonesia Emas, perlu persiapan panjang dari sekarang. “Jika mampu memanfaatkan bonus demografi, maka akan lepas dari middle income track menuju negara berpenghasilan setara negara maju,” tukasnya.