Ibrahim telah mendapatkan petunjuk dari Allah. Ia yakin bahwa Tuhan yang sebenarnya itu ada walaupun tidak dapat dilihat wujudnya. Ibrahim telah menemukan kedamaian dan jalan yang benar. Allah selalu memberikan hujjah yang kuat kepadanya sehingga ia mampu menghadapi kaumnya.
Ia terus melanjutkan pertentangan kepada penyembahan berhala. Pergulatan dan pertentangan antara Ibrahim dan kaumnya semakin tajam. Beban yang paling berat adalah saat ia harus berhadapan dengan ayahnya. Diantara masyarakat Babilonia, Sang Ayahlah yang paling marah dan menentang sikap Ibrahim. Keduanya dipisahkan oleh prinsip-prinsip yang berbeda.
“Ibrahim! Engkau telah berkhianat dan bersikap tidak terpuji terhadap ayahmu sendiri!”
“Ayah.. Mengapa ayah menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun? Ayah.. Allah telah memberiku sebagian ilmu yang belum ayah ketahui, ikuti aku ayah.., aku akan menunjukkan ayah ke jalan yang lurus. Ayah.. Janganlah ayah menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, aku khawatir ayah akan mendapat adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah”.
Sang Ayah segera bangkit dengan muka merah padam, hatinya geram. Ia tak kuasa lagi membendung luapan amarahnya.
“Diaam! Bencikah kau dengan tuhan-tuhan ayahmu wahai Ibrahim..!? Jika kau teruskan ocehanmu, akan kulempar kau dengan batu-batu ini! Tinggalkan rumah ini! Aku tidak ingin melihatmu lagi!”
“Baik ayah.. Kalau memang itu keinginan ayah, aku akan pergi. Semoga keselamatan dilimpahkan kepada ayah. Semoga Tuhanku memberi ayah petunjuk dan memaafkan semua kesalahan ayah”
Ibrahim pun pergi meninggalkan rumah. Perlakuan Sang Ayah yang telah mengancam dan mengusirnya dari rumah tidak meredupkan cahaya iman dalam diri Ibrahim. Semangat dakwahnya semakin membara, ia bertekad untuk mendatangi kaumnya yang mungkin masih mau mendengarkan ajakannya. Namun di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lengang dan sepi.
“Kemana perginya orang-orang ini? Ah.. mungkin sedang berada di rumah ibadah mereka”.
Ibrahim pun menuju ke suatu tempat yang biasa digunakan oleh kaumnya untuk upacara penyembahan berhala. Ternyata di sana pun juga sepi. Tak lama kemudian ada seseorang yang lewat memberitahu bahwa hari itu sedang ada pesta rakyat yang diadakan di tepi sungai sehingga orang-orang berbondong-bondong kesana.
Ibrahim memandang sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh ratusan patung dengan berbagai bentuk dan ukuran. Di hadapan patung-patung itu telah tersedia hidangan makanan dan minuman sebagai sesaji. Ibrahim mendekati salah satu patung lalu berkata,
“Hei..! Mengapa makanan itu kau biarkan dingin? Mengapa makanan itu tidak kau makan! Hei..! kenapa kau diam saja tidak menjawab pertanyaanku..!”
Ibrahim berjalan mengambil kapak yang kebetulan tergantung di salah satu sudut ruangan. Kemudian ia menghampiri patung yang membisu tidak menjawab pertanyaannya. Diangkatnya kapak tinggi-tinggi lalu ia ayunkan, “BRAAK!!” menghantam kepala patung itu hingga hancur berantakan. Selanjutnya patung-patung yang lain pun mendapat giliran hingga semua patung yang berada di dalam ruangan itu hancur tak berbentuk lagi, kecuali satu patung yang sengaja ia biarkan tetap utuh. Ia pandangi sejenak patung yang bentuk dan ukurannya paling besar itu, lalu ia kalungkan kapak di leher patung tersebut. Ibrahim pun pergi meninggalkan tempat itu.
Menjelang sore pesta perayaan rakyat usai. Orang-orang kembali ke rumah mereka masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah rumah ibadah. Orang-orang pun berhamburan menuju rumah ibadah mereka. Sampai di sana ternyata Raja Namruj penguasa negeri itu sudah berada di dalam ruangan. Semua tercengang demi melihat tuhan-tuhan mereka hancur. Mereka saling pandang satu sama lain dengan geram, lalu menerka-nerka siapa pelaku kekacauan ini. Sang Raja berteriak penuh amarah,
“Siapa yang berani melakukan ini!”
“Kami dengar ada seorang pemuda yang suka mencela tuhan-tuhan kita”
“Ya! Benar! Namanya Ibrahim!”
“Panggil dia kemari!” perintah Sang Raja.
Tak lama kemudian Ibrahim datang ke tengah-tengah mereka.
“Apakah benar kau yang melakukan semua ini wahai Ibrahim?” tanya Sang Raja.
“Tidak! Bukan aku yang melakukannya” jawab Ibrahim.
Ibrahim lalu menunjuk ke arah patung yang paling besar, “Apakah kalian tidak melihat kapak yang tergantung di leher tuhanmu itu? Dialah pelakunya. Mungkin saja tadi dia marah lalu menghancurkan tuhan-tuhan pesaingnya”
“Bodoh sekali kau Ibrahim! Mana mungkin patung bisa melakukannya!” bentak Sang Raja.
Dengan tenang Ibrahim membalas, “Yang lebih bodoh lagi adalah orang yang menyembah patung itu. Sudah jelas tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa berbicara, tidak mampu memberikan manfaat maupun mendatangkan mudharat, tidak berguna sama sekali, kenapa malah dipertuhankan..”
Manusia-manusia yang hatinya telah terbelenggu oleh setan tidak lagi dapat berpikir dengan akal sehat. Yang ada hanyalah hawa nafsu yang membabi buta.
“Tangkap Ibrahim! Bakar dia! Belalah tuhan-tuhan kalian jika kalian benar-benar setia menyembahnya!” perintah Sang Raja.
Dengan cepat berita pembakaran Ibrahim pun tersebar ke seluruh negeri. Orang-orang berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menyaksikan hukuman bagi orang yang berani menentang tuhan bahkan menghancurkannya. Ibrahim sudah terikat tangan dan kakinya, sementara orang-orang sibuk menimbun tubuh Ibrahim dengan kayu bakar hingga tak terlihat.
“Laksanakan!” perintah Sang Raja.
Api mulai menyala membakar kayu-kayu kering yang menutup tubuh Ibrahim. Asap mulai membumbung tinggi, orang-orang yang menyaksikan mulai bergerak mundur menjauh dari kobaran api karena saking panasnya. Namun apalah arti panasnya api bagi Ibarahim, Allah telah menjadikan api itu dingin untukknya, “Wahai api.. jadilah engkau dingin dan membawa keselamatan kepada Ibrahim”. Ibrahim merasakan kesejukan dan kedamaian bagai berada di dalam taman yang indah. Api hanya membakar tumpukan kayu dan tali pengikat tubuh Ibrahim. Ketika kayu-kayu sudah mulai ludes terlalap api, nyala api pun mulai mengecil. Orang-orang berebut mendekat ingin melihat jasad Ibrahim yang mereka kira sudah menjadi abu.
Tiba-tiba sisa-sisa tumpukan kayu itu bergerak dan muncullah Ibrahim dengan wajah segar berseri diliputi dengan cahaya kebesaran. Pakaian yang dipakainya masih utuh tak terjilat api sedikitpun. Tentu saja kejadian ini membuat semua orang yang menyaksikan terperangah. Mereka hanya dapat berdiri terpaku dan terdiam seribu bahasa. Para penduduk Babilonia itu terguncang hatinya, mereka mulai tersadar dan berpikir tentang kebenaran Ibrahim.
Allah telah memilih Ibrahim menjadi seorang Rasul yang siap menjalankan tugas berat memberantas segala macam bentuk kemusyrikan dan kebatilan di muka bumi hingga Allah mendatangkan kemenangan dan kejayaan.
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah dan kebenaran…” QS:21:51
Sumber ; QS:6:74-83, QS:21:52-56, QS:19:42-70, QS:37:91-92
Oleh : Ustadz Dave Ariant Yusuf Wicaksono