Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS Al-An’am:29)
Di timur Pulau Jawa, tepatnya di tlatah Madura, ada sebuah masjid dengan pohon beringin besar di halaman. Setiap memasuki waktu dhuha, seorang Janda tua mengambili daun beringin yang berserakan. Dipungutnya satu persatu dengan telaten dan dibuang ke tempat sampah yang tersedia. Proses ini berlangsung lama sampai waktu dhuhur. Jika waktu dhuhur tiba dan pembersihan daun itu belum selesai, akan diteruskan sehabis sholat dhuhur. Hal ini berlangsung setiap hari, sampai Pak Kyai melihat keberadaan si Janda itu. Karena merasa iba, Pak Kyai memerintahkan murid-muridnya untuk menyapu dan mengumpulkan daun-daun beringin yang berserakan itu segera, sebelum si Janda itu datang memungutnya. Halaman masjid pun bersih sebelum masuk waktu dhuha.
Begitu mendapati halaman masjid sudah bersih dari dedaunan, sontak si Janda berlari ke masjid bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya. Melihat keadaan ini, Pak Kyai pun kaget campur bingung; ada apa gerangan? Pak Kyai pun mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Ibu itu menangis? Dengan berlinang air mata, nafas tersengal, sesenggukan dan bibir gemeteran, si Janda berkata, “Pak Kyai, saya menangis sebab mendapati pelataran masjid yang sudah bersih dari dedaunan. Padahal dari dedaunan itulah setiap hari saya berdzikir dan bersholawat. Kalau daun itu sudah tak ada, apa yang bisa saya lakukan? Dengan apa saya bisa berdzikir dan berdoa? Berilah saya kesempatan untuk meraih jalan surga saya.” Mendengar penjelasan itu, rasa iba pun hilang berubah menjadi kekaguman.
Di seberang barat Pulau Jawa, tepatnya di bilangan samping tembok salah satu masjid di Jambi, Sumatera, hidup seorang Ibu tua. Rumahnya sangat sederhana. Hanya satu kamar, beratapkan seng. Ukuran tak lebih dari 2 x 4 meter. Berdinding kayu tak beraturan dan beralaskan plesteran biasa. Di situlah dia masak, tidur dan bercengkerama. Setiap hari mengumpulkan barang-barang bekas dari sampah yang berserakan di sekitar masjid yang masih berguna. Ada botol plastik, kertas bekas, sampai buah pinang yang masak dari beberapa pohon pinang yang tumbuh di kanan-kiri tembok pagar masjid. Dan orang-orang di sekelilingnya pun selalu beramai-ramai setor sampah kepadanya. Karena dulu pernah diusahakan bantuan dari pengurus masjid untuk maisyahnya, si Ibu cuma bilang; “Berikan saya sampah kalian saja. Itu sudah cukup bagi saya yang sebatang kara ini. Dan saya juga bisa andil membersihkan sampah di lingkungan ini.”
Kehidupan yang sepi, jauh memprihatinkan, jika dibandingkan dengan rumah-rumah megah di sekelilingnya. Namun begitu, ia tampak bahagia. Itu adalah sebuah pilihan, perjuangan hidup. Si Ibu rela meninggalkan gemerlap kemewahan, andai mau mengikuti anak-anaknya yang sudah mapan. Akan tetapi demi sebuah prinsip, tak mau merepotkan anak, ia bertahan. Si Ibu rela hidup ala kadarnya, tetapi ibadah terjaga dan lancar. Biarlah sang cucu yang datang berkunjung untuk menghilangkan rasa rindu. Asalkan kerinduan dengan Sang Pencipta tersalurkan sudah setiap saat. Bisa sholat berjamaah setiap waktu, mengagungkan syair-syair Allah sepanjang masa dan bisa mencukupi kehidupannya sendiri dengan bergumul sampah, walau banyak mata iba melihatnya. Akhirnya rasa iba pun berubah menjadi kekaguman dan penghormatan, demi mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Terus terang, banyak diantara kita sering meletakkan rasa iba kita pada tempat dan waktu yang salah. Dan rasa iba inilah yang banyak digoreng para pihak yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih beneran, dengan berkedok keibaan beberapa keuntungan bisa diraih. Di perempatan jalan misalnya, mudah ditemukan para peminta menghiasi diri dengan perban dan saus tomat, untuk menarik rasa iba kita. Di jalanan banyak orang cacat dipajang di atas gerobak usang untuk meruntuhkan rasa iba kita. Rintihan, rengekan, glembuk dan sebangsanya sudah biasa menghiasi kehidupan ini dengan maksud agar dikasihani. Bahkan penipuan pun dilakukan lewat jalan mempermainkan sentimentalitas rasa iba ini. Baik yang konvensional maupun modern lewat dunia maya. Jarang yang elegant mengarungi hidup ini dengan sikap perwira, perkasa dan terjaga. Maka wajar kita melakukan kesalahan dalam mengelola rasa iba ini dengan melakukan hal yang tidak semestinya.
Namun demikian, membunuh rasa iba pun tidak dibenarkan. Orang yang keras hatinya, raja tega, juga dilarang. Semua harus pada koridor, prosedur dan aturannya. Hanya saja di sinilah letak permasalahannya. Ada kesulitan kapan kita melepas rasa iba kita dengan benar, tahu kalau ini harus dikasihani dan tahu kalau hanya berpura-pura. Salah satu cara yang dianjurkan dan diajarkan adalah dengan apa yang disebut tes kesungguhan. Tes ini memampukan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi; benerankah atau bohongan, sebelum melepas rasa iba. Pertama dengan tindakan yang baik. Contohnya seperti kasus di atas. Bantuan yang dimaksudkan baik, ternyata malah membuat yang dibantu bersedih. Dengan demikian kita tahu bahwa orang itu memang bersungguh-sungguh dengan apa yang dilakukan. Kedua dengan ucapan yang baik. Contohnya seperti dikisahkan dalam Surat At-Taubah ayat 92.
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak mempunyai kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS At-Taubah: 92)
Kejujuran dan ketulusan jawaban Nabi SAW ketika menolak permintaan kendaraan para sahabat untuk maju perang, direspon dengan tangisan yang dalam. Bukan suka-cita, karena kesungguhan mereka. Tentu saja dua hal ini harus dibarengi dengan niat baik, prasangka yang baik serta papan, empan, adepan.
Sebagai lanjutan dari testimoni ini, coba lakukan dua hal ini kepada para gepeng di pinggir jalan itu. Ketika ditolak permintaannya dengan omongan yang baik, langsung melengos. Mimiknya menampakkan kekecewaan yang dalam, karena tidak diberi. Jarang ketika ditolak dengan baik, membalas dengan omongan yang baik juga. Apalagi mendoakan baik. Sekarang coba mereka kita berikan uang recehan yang kecil, mereka berterima kasih tapi mimiknya masih suntuk. Bahkan jarang yang lupa mengucapkan terima kasih yang mendalam dengan wajah berbinar. Beda kalau diberi uang yang besar. Besoknya ia pun datang dan datang lagi. Sebab itu semua sudah dijadikan profesi, bukan karena keterpaksaan dan kesulitan hidup. Meminta adalah pekerjaannya. Tak pernah ada niat berhenti dan mandiri. Tak sadar terus mengais rasa iba orang – orang yang lalu – lalang di jalan.
Selain itu, sebenarnya dengan tes kesungguhan ini kita berupaya terhindar dari golongan orang dholim atau didholimi, sebagaimana riwayat berikut.
عَنْ أَنَسٍ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا ”. فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ ” تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ ”
Dari Anas ra., ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda; “Tolonglah saudara sebagai orang mendholimi atau orang yang didholimi.” Maka seorang rojul berkata, ‘Ya Rasulullah aku menolongnya apabila ia orang yang didholimi, bagaimana kalau ia orang yang mendholimi, bagaimana cara menolongnya?’ Rasulullah SAW menjawab, “Kamu mencegahnya atau menghalanginya dari kedholiman, maka yang demikian itu adalah menolongnya.” (HR Al-Bukhori).
Jadi, memang perlu berlatih terus untuk mengasah keibaan kita agar tidak salah tempat dan waktu. Mungkin tak cukup seribu kali kita berlatih agar mempunyai touching heart yang tepat guna dan tepat sasaran. Yang terpenting adalah jangan pernah melepas rasa kasih sayang kita dengan penyesalan. Sebab ketika kita menyesal, disitulah sebenarnya letak kesalahan itu. Walau begitu, juga jangan mengumbar rasa iba sembarangan, sebab banyak orang yang menggunting dalam lipatan. Kuncinya adalah tetaplah jujur, hati-hati, waspada dan bertindak sesuai kemampuan diri sendiri. Alon-alon waton kelakon. Gremat-gremet asal selamet. Iringilah setiap kebaikan yang kita lakukan dengan senangnya diri dan mencari keridhoan Ilahi.
Mantab betul ini tulisan…cocok dg kebutuhan kita (saya)…AJKH Mas Faidzunal.
Salam dari murid di Walibarokah Tambun