<<Sebelumnya
Di kubu kaum kafir, sebuah upacara sakral sebelum melaksanakan perang mati-matian dilaksanakan. Di dalam istana megah itu, sang raja memberikan mahkota dan salib emas pada Wardan. Empat sisi Salib gemerlapan oleh empat mutiara yaqut yang sangat mahal. Kedudukan Salib itu begitu agung buat mereka.
Raja berpesan, “Jika kaum Arab menyerangmu! Letakkanlah Salib ini di depanmu. Dia akan menolongmu!.”
Pesan itu didengar dengan seksama oleh Wardan dan seluruh hadirin. Wardan segera masuk gereja dengan mengenakan mahkota dan membawa Salib. Di dalam gereja, dia menceburkan diri ke dalam air Al-Amudiyyah. Setelah selesai, tubuhnya diolesi minyak Bakhur (????) dari gereja Sejumlah Rahib memberkatinya.
Wardan keluar dari gereja menuju tenda induk di luar kota yang telah dipersiapkan untuknya. Sementara di tanah lapang semakin ramai oleh penduduk Romawi yang melaut yang ingin menyaksikan pasukan Wardan diberangkatkan.
Raja didampingi pasukan pengawal, berkuda masuk ke tanah lapang. Ia mengantar Wardan dan pasukannya hingga Jisri Al-Khadid (Jembatan Besi). Arak-arakan pasukan Wardan melanjutkan perjalanan sampai di kota Chamah.
Melalui utusan, Wardan mengirimkan surat-raja, pada pasukan Romawi yang berada di Ajnadin. Surat itu berisi perintah agar pasukan berpencar untuk menghalangi pasukan Khalid, agar tidak bergabung dengan bala bantuan Arab yang datang di bawah pimpinan Amr bin Al-Ash.
Wardan mengumpulkan dan menasihati sejumlah bathriq, “Saya akan berjalan ke Ajnadin melalui jalan Mars (???? ????) di waktu orang-orang sedang lengah. Semua pasukan Arab akan saya bunuh.”
Namun, ketika malam telah kelam, Wardan justru berjalan membawa pasukannya melewati jurang Chayah; yaitu jalan yang juga menuju Ajnadin. Perpindahan jalur ini siasat Wardan.
Futuhus-Syam (sebuah kitab kuning) mencatat laporan Syadad bin Aus, yang saat itu ikut berperang: “Setelah Khalid melewati beberapa kota dan membunuh dua bathriq, dia memerintahkan kami, orang-orang Islam, agar merayap dengan membawa perisai untuk menangkis batu dan anak panah yang menyerang, dalam berjuang menembus benteng kota Damaskus. Begitu penduduk Damaskus tahu bahwa kami telah mengepung, mereka melempari kami dengan batu dan anak panah dari atas benteng. Namun, jumlah kami yang semakin banyak membuat mereka gentar.”
Syadad bin Aus menambahkan, “Kami mengepung mereka selama 20 hari. Di hari yang ke-20, kami dikejutkan oleh Nawi bin Murrah yang memberitakan bahwa ‘bala bantuan (untuk musuh) dari Romawi berjumlah banyak sekali telah berdatangan ke kota Ajnadin’.”
Khalid bergerak cepat menuju pintu gerbang kota Jabiyyah untuk minta petunjuk Abu Ubaidah. Khalid berkata, “Wahai orang yang dipercayai oleh umat ini! Saya berpendapat sebaiknya kau giring pasukan ini menuju Ajnadin. Kita perangi orang-orang Romawi di sana. Jika Allah memberi kita kemenangan, kita kembali lagi ke sini untuk memerangi orang-orang di sini.”
Abu Ubaidah menjawab, “Itu bukan pendapat yang tepat.”
“Kenapa?”
“Jika kita pergi, mereka akan menempati posisi kita ini.”
“Saya kenal seorang lelaki yang tak takut mati dan pandai berperang. Ayah dan kakeknya telah wafat dalam Perang Sabil. Bagaimana kalau kita utus dia menuju Ajnadin?”
“Siapa dia?”
“Dhirar bin Al-Azwar bin Thariq (???? ?? ?????? ?? ????).”
“Idemu tepat sekali. Dia lelaki yang mau berjuang mati-matian. Utuslah dia!”
Khalid bergerak cepat untuk memerintah agar Dhirar datang menghadap. Tak lama kemudian Dhirar datang. Khalid berkata, “Hai putra Azwar (maksudnya Dhirar)! Kau saya tugaskan memimpin 5.000 pasukan untuk melawan musuh yang datang ke mari. Kalau kau merasa mampu melawan mereka! Lawanlah! Namun, jika kau merasa tak mampu, maka panggillah kami!.”
Dhirar berkata, “Oh, saya sangat bahagia dengan tugas ini. Kalau perlu saya sendiri yang akan melawan mereka.”
“Jangan! Itu namanya bunuh diri! Berangkatlah bersama orang-orang yang akan mendampingimu!” kata Khalid.
Dhirar bergegas hendak meninggalkan tempat.
Khalid menahan, “Sebentar! Tunggulah sampai orang-orang yang mendampingimu berkumpul!”
Dhirar berkata, “Saya akan segera berangkat! Kalau yang ditugaskan mendampingi saya, orang-orang baik! Pasti segera menyusul saya!.”
Dhirar tidak main-main, dia benar-benar berangkat bergegas dengan kudanya hingga akhirnya sampai ke rumah peribadatan bernama Baitu Lahya (??? ????) yang di dalamnya terdapat berhala-berhala yang disembah. Di situlah dia berhenti menunggu teman-temannya.
Semakin lama, teman-tamannya yang datang semakin banyak. Ketika semua telah datang, Dhirar melihat dari jauh; banyak sekali pasukan Romawi berbaju perang merayap turun. Terlihat dari kejauhan; mereka berjumlah ribuan seperti kawanan belalang. Sinar mentari pagi itu menerangi perisai-perisai dan jalan yang mereka lalui.
Para sahabat nabi SAW berkata pada Dhirar, “Jumlah bala bantuan musuh banyak sekali! Sebaiknya kita kembali pada pasukan induk!.”
Dhirar menjawab dengan lantang, “Saya tak akan berhenti mengayunkan pedang di jalan Allah! Semoga Allah menyaksikan saya tidak lari dari perang! Karena Allah berfirman:Jangan kalian hadapkan dubur-dubur pada mereka (lari dari musuh). Barang siapa di hari itu menghadapkan duburnya pada musuh, berarti ia telah kembali membawa murka dari Allah. Kecuali untuk menghindar atau bergabung pada pasukan (untuk menyusun siasat) (Al-Anfal: 16).
Rafi’ bin Umairah At-Thoi (???? ?? ????? ??????) yang saat itu ikut dalam perang tersebut, berkata, “Kenapa kalian takut pada jumlah musuh yang banyak? Bukankah Allah telah menolong kalian berkali-kali di beberapa tempat? Pertolongan selalu datang setelah kesabaran. Kita harus sadar bahwa kita telah berkali-kali menghadapi pasukan musuh berjumlah banyak maupun sedikit. Ikutilah jalan orang-orang iman dan memohonlah pada Tuhan! Ucapkan doa kaum Tholut (Syaul) di saat bertemu Raja Jalut (Goliath): ‘Wahai Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran pada kami dan tetapkanlah tumit-tumit kami (agar tidak lari dari musuh), dan tolonglah kami mengalahkan kaum kafir’.”
Setelah mendengarkan pasukan mengucapkan doa, Dhirar segera mengajak mereka bersembunyi di balik Baitu Lahya. Dia tidak menjelaskan siasat yang akan dilakukan atas pasukan lawan. Ia malah duduk di atas kuda dalam keadaan tak berbaju dan tak berpedang. Membawa tombak sangat panjang dan berkhutbah pada teman-temannya…” Selanjutnya >>
source: mulungan.org