Oleh Siham Afatta*)
Allah SWT menciptakan bumi dan segala sumberdaya alam di dalamnya untuk dimanfaatkan manusia sekaligus sebagai penopang hidup manusia. Surat Al Isra ayat 44 menunjukkan bahwa langit dan bumi beribadah kepada Allah, dengan cara yang tidak diketahui manusia.
Bumi bagaikan makhluk seperti sistem tubuh tubuh manusia, yang memiliki organ dengan beragam unsur seperti tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, dan lainnya – kesemuanya saling terhubung dan berpengaruh antara satu dengan lainnya. Alhasil, bumi ini memiliki ‘tubuh’ yang stabil, yang seimbang, memungkinkan manusia hidup dan beribadah dengan lancar, aman, nyaman.
Bagaikan sistem pernafasan kita, hutan dan lapisan atmosfir yang terbentang luas menjadi tempat pertukaran udara dan gas – seperti sistem pernafasan kita. Sementara manusia melepaskan karbon dioksida, kemudian tumbuhan hijau mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang bermanfaat. Bagaikan kulit tubuh manusia, hamparan hutan dan pepohonan menjadi ‘kulit’ bagi bumi, untuk kekokohan struktur tanah agar tidak mudah erosi atau longsor.
Layaknya sistem pencernaan kita, tanah dan proses penguraian di dalamnya memecah beragam zat organik sisa organisme hingga menjadi beragam unsur hara penting. Dari tanah, tanaman pangan kita menyimpan senyawa kimia – karbon, nitrogen, fosfor, dan lainnya – sebagai zat sumber energi, penentu tumbuh kembang dan perbaikan tubuh berbagai makhluk.
Serupa sistem sirkulasi darah pada jantung, pembuluh darah, dan paru-paru, siklus air – dari mata air, sungai, muara, hingga lautan – menjaga sistem tranportasi agar unsur hara dan energi dapat dijumpai di tanah dan air, mulai kawasan pegunungan, dataran rendah, hingga pesisir dan lautan.
Bagai beragam jenis sel yang membangun tubuh kita, keanekaragaman hayati di bumi memuat beragam jenis tumbuhan yang melimpah, hewan, mikroorganisme yang menjadi penentu keutuhan dan fungsi ekosistem. Sama halnya, beragam sel saraf, sel darah, sel otot, sel tulang, dan lainnya, masing-masing berperan spesifik membentuk dan menjaga organ tubuh kita agar utuh dan lengkap.
Bumi Bisa Sakit
Layaknya manusia, bumi bisa sakit. Ketika salah satu komponen ekosistem terganggu, terjadilah ‘ketidakstabilan ekologis’. Dalam kesehatan, ini setara dengan ‘ketidakseimbangan homeostatis’ – proses yang umum melatarbelakangi keadaan ‘sakit’.
Saat temperatur tidak seimbang – manusia mengalami demam, bumi mengalami pemanasan global dan perubahan iklim. Keduanya sama rapuhnya. Cukup temperatur rata-rata tubuh naik di atas 1 derajat Celcius saja – sontak tubuh manusia maupun bumi mulai bergejolak, resah, dan tidak nyaman.
Saat nutrisi tidak seimbang – berlebih gula mengakibatkan diabetes pada manusia, sebagaimana bila nitrogen berlebih dalam kandungan tanah mengakibatkan produktivitas tanaman menurun. Keduanya penyebabnya sama, yakni asupan yang berlebihan. Analoginya, manusia akan sakit bila pola konsumsi makanannya berlebihan, sementara pencemaran tanah terjadi akibat pola pupuk kimia berlebih.
Saat sistem kekebalan tidak seimbang – virus dan bakteri menginfeksi organ tubuh kita karena kurang vitamin dan nutrisi penting untuk imunitas. Sama halnya, wabah hama lebih mudah menyerang tanaman pangan karena satwa pengendali hama seperti burung, reptil, serangga, kelelawar, dan lainnya berkurang atau punah. Hasil panen juga menurun sebab memburuknya kualitas air dan tanah.
Saat kandungan gas oksigen dan karbondioksida tidak seimbang – kemampuan kerja tubuh menurun dan organ tubuh bisa rusak saat ada gangguan pada penyerapa oksigen di paru-paru. Juga pada atmosfir, semakin menurun kemampuannya menjaga suhu bumi, dan udara semakin tidak layak bagi manusia. Semakin sedikit hutan dan tumbuhan hijau untuk mengolah karbon dioksida menjadi oksigen.
Ukuran manusia lebih kecil dari bumi. Namun, tidak sedikit peneliti di dunia memandang jumlah dan intensitas kegiatan manusia yang beragam menjadi kekuatan perusak dominan di muka bumi. Dampaknya mampu memodifikasi proses ekosistem, keanekaragaman hayati, dan iklim di bumi dalam jangka waktu panjang. Paul J. Crutzen, seorang kimiawan atmosferik menyebut rentang waktu ini sebagai era Antroposen.
Penghijauan Sebagai Solusi
Upaya penghijauan dan penanaman pohon menjadi bagian dari solusi – namun ini belum cukup. Sebab di era Antroposen ini, beragam kegiatan manusia secara sinergis mengakselerasi perubahan pada iklim, hewan, tumbuhan, tanah, dan air/lautan.
Di antar perubahan tersebut adalah perubahan iklim. Fenomena tersebut akibat penambahan gas rumah kaca dari pembakaran batu bara, minyak bumi dan gas alam. Pencemaran berkelanjutan mengakibatkan asupan sampah plastik dan beragam limbah yang tidak terkelola mengendap di badan tanah dan air, hingga tubuh hewan dan manusia. Pemanfaatan berlebih dan tak terkendali terhadap air tanah berakibat langsung pada ancaman kepunahan pada hewan dan ikan liar. Keadaan itu diperparah dengan penebangan hutan, berkurangya habitat, serta alih fungsi kawasan hijau untuk peluasan kawasan kota dan hunian, pertanian, serta industri kayu dan pertambangan.
Dengan masalah yang paralel itu, upaya pelestarian lingkungan perlu berlangsung secara holistik dan berkesinambungan, tidak mengandalkan upaya yang ‘itu-itu saja’ dan sesaat. Misalnya, penanaman kembali hutan (reforestasi) dan upaya penghijauan lainnya, kita perlu memastikan perencanaan yang strategis dengan pertimbangan baik aspek sosial, ekonomi dan ekologis tidak terbatas pada:
- Pelestarian diutamakan pada kawasan hutan alam yang sama sekali belum dieksploitasi oleh manusia
- Pilih jenis tumbuhan yang sesuai dengan keadaan asli atau karakteristik lokasi penghijauan. Termasuk pertimbangan menerapkan metode reboisasi campuran dengan menggabungkan penanaman pohon dengan regenerasi alami, akan menyesuaikan strategi dengan kondisi lokasi tertentu, sehingga mengoptimalkan hasil.
- Keterlibatan masyarakat dan stakeholder lokal dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan sehingga keteladanan sosial terbangun, kebutuhan sosial dan ekonomi bisa diserap, dan terakomodir dalam upaya pelestarian.
- Upaya pascatanam dipastikan terencana untuk pemantauan dan pemeliharaan kawasan penghijauan. Kesuksesan dan keberlanjutan reforestasi di antaranya bertumpu pada keberdayaan para pihak di tingkat tapak dalam meninjau kawasan reforestasi dan melakukan tindakan penjagaan dan pemeliharaan yang diperlukan.
- Strategi kelembagaan, pembiayaan, serta peraturan disiapkan sejak awal untuk pengelolaan jangka menengah hingga panjang. Untuk memastikan terjadi regenerasi hutan secara alami di waktu mendatang yang tidak terputus atau terganggu.
Selain itu, sebab keterhubungan berbagai masalah lingkunan di era Anthroposen ini, beragam bentuk upaya perlindungan lingkungan lainnya sama penting untuk dilanjutkan, namun tidak terbatas pada:
- Pengendalian polusi: menerapkan peraturan yang lebih ketat untuk mengurangi polusi udara, air, dan tanah. Ini termasuk membatasi emisi industri, mengelola limbah, dan mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya.
- Konservasi keanekaragaman hayati: melindungi spesies yang terancam punah dan habitatnya melalui pembentukan kawasan lindung, koridor satwa liar, dan program konservasi.
- Pertanian berkelanjutan: mempromosikan praktik pertanian yang menjaga kesehatan tanah, mengurangi penggunaan pestisida, dan menghemat air. Teknik seperti rotasi tanaman, pertanian organik, dan agroforestri sangat penting.
- Energi terbarukan: beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidroelektrik. Ini mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi perubahan iklim.
- Pengelolaan air: memastikan penggunaan air yang berkelanjutan melalui irigasi yang efisien, pemanenan air hujan, dan melindungi daerah aliran sungai. Ini membantu menjaga kualitas dan ketersediaan air.
- Perencanaan kota: merancang kota agar lebih berkelanjutan dengan memasukkan ruang hijau, mempromosikan transportasi umum, dan menerapkan kode bangunan yang hemat energi.
- Pendidikan lingkungan: meningkatkan kesadaran dan mendidik masyarakat tentang masalah lingkungan dan praktik berkelanjutan. Ini dapat menghasilkan perilaku yang lebih bertanggung jawab dan terinformasi.
- Mitigasi perubahan iklim: menerapkan kebijakan dan teknologi untuk mengurangi emisi karbon, seperti penetapan harga karbon, penangkapan dan penyimpanan karbon, serta mempromosikan efisiensi energi.
Pada 10 Januari kita bisa mengambil andil dalam melanjutkan komitmen penanaman pohon secara masal (Go Green). Selain itu, pastikan kita tetap memperkaya ragam upaya dalam menjaga lingkungan. Sehingga, mulai dari lingkup rumah tangga hingga masyarakat luas, berupaya, agar masalah lingkungan tidak berlanjut lintas generasi.
*) Siham Afatta, Ph.D. adalah pemerhati lingkungan sekaligus Anggota Departemen Departemen Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup (LISDAL) DPP LDII.
Alhamdulillah..
Mendapatkan pencerahan.
Semoga barokah