Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus melaju, saat ini kita hidup di tengah generasi yang sering kali dilabeli sebagai generasi milenial (lahir tahun 1981–1996), generasi Z (lahir tahun 1997 – 2012) dan generasi Alpha (lahir tahun 2013 – 2024). Apapun generasinya, realitas menunjukkan bahwa selalu ada bibit-bibit kekerasan yang beredar di masyarakat, dari generasi ke generasi. Bahkan semakin banyak jumlahnya serta bentuk dan variasinya. Yang tanpa disadari oleh kita semua, seolah bercocok-tanam kekerasan dari waktu ke waktu tanpa henti. Kekerasan itu hadir di berbagai tempat—di media yang kita konsumsi setiap hari, di lingkungan tempat kita berinteraksi, bahkan di meja makan, hingga tanpa sadar masuk ke dalam relung-relung jiwa. Bagi mereka yang telah sadar dan memiliki kewaspadaan batin, kondisi ini tidak memberikan banyak pilihan selain mulai menanam benih yang berbeda: benih kedamaian.
اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di atas bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antaranya yang lebih baik perbuatannya.” (QS Al-Kahfi:7)
Kedamaian, sebagai definisi baru, bukanlah sesuatu yang harus menunggu momen yang tepat untuk diwujudkan. Kita tidak perlu menunggu sampai keuangan stabil, anak-anak menyelesaikan pendidikan, atau semua keinginan duniawi terpenuhi sebelum bisa merasa damai. Justru, kedamaian harus ditemukan dalam setiap langkah kehidupan—dalam momen-momen sederhana seperti saat menikmati makanan, bekerja, berdoa, bahkan ketika mandi sekalipun. Jika kita mampu melihat sisi damai dari setiap peristiwa yang hadir dalam kehidupan kita, maka kedamaian akan menjadi bagian dari perjalanan itu sendiri. Kedamaian bukanlah ketiadaan suara atau kebisingan, melainkan kemampuan kita untuk tersenyum dan menerima semua suara yang hadir dengan hati yang lapang dan tenang.
Kehidupan ini, baik yang tampak di luar maupun yang terasa di dalam diri, ibarat aliran air yang tidak bisa dihentikan. Seperti siang dan malam yang terus berganti tanpa bisa ditahan, hidup pun demikian adanya. Tidak ada yang bisa benar-benar menghentikan waktu atau mengendalikannya sepenuhnya. Karena itu, pilihan terbaik bukanlah melawan aliran waktu, melainkan menyatu dengannya. Melawan arus kehidupan adalah sumber penderitaan, sedangkan mengalir bersamanya adalah sumber kedamaian. Para bijak bestari telah mengajarkan bahwa dalam tingkat kesempurnaan spiritual, istiqomah bukanlah sekadar bertahan dalam prinsip, tetapi juga berarti mampu beristirahat di dalam momen saat ini, menerima apa adanya tanpa menolak atau menggenggam terlalu erat.
Istirahat dalam makna terdalamnya adalah merangkul kekinian, merasakan kehadiran diri sepenuhnya di sini dan saat ini. Dalam bahasa para guru spiritual, setiap matahari yang terbit membawa nyanyian harapan, sementara matahari yang tenggelam menyanyikan kedamaian. Begitulah seharusnya kita menjalani kehidupan—dengan menyambut setiap awal sebagai peluang dan merelakan setiap akhir dengan ketenangan.
Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan dua pertiga permukaan bumi sebagai lautan. Laut adalah simbol kehidupan itu sendiri—ia menyimpan banyak makna dan petunjuk bagi manusia yang mau belajar darinya. Dalam kitab suci Al-Quran, Allah berfirman:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ
“Dan jadikanlah (wahai Muhammad) kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia seperti air yang Kami turunkan dari langit…” (QS Al-Kahfi: 45). Air yang turun dari langit, menyatu dengan tanah, berkumpul di sungai, lalu terus mengalir hingga bermuara di laut, menggambarkan perjalanan hidup manusia yang terus berubah dan berproses menuju kesempurnaan.
Kehidupan ini menyerupai samudera luas. Jika kita hanya melihat permukaannya, kita akan menemukan gelombang yang terus bergulung—kadang tinggi, kadang rendah, kadang tenang, kadang bergejolak. Namun, di kedalaman samudera yang lebih dalam, yang ada hanyalah ketenangan yang menawan. Dari sinilah kita belajar bahwa kehidupan di permukaan penuh dengan naik turunnya emosi—senang dan sedih, pujian dan hinaan, sukses dan gagal. Jika kita terus hidup di permukaan ini, kita akan mudah terombang-ambing oleh gelombang perasaan dan kejadian. Namun, jika kita berani menyelam lebih dalam ke dalam diri, kita akan menemukan ketenangan sejati.
Menyelami diri bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan merangkulnya dengan cara yang lebih tenang dan sadar. Ketika riak emosi datang—baik berupa kegembiraan yang melambungkan maupun kesedihan yang menekan—kita diajak untuk tidak terhanyut olehnya, melainkan mengamatinya seperti ombak yang datang dan pergi. Salah satu caranya adalah dengan menjadi saksi atas pikiran dan perasaan sendiri. Saat kesedihan muncul, jangan langsung menolaknya atau larut di dalamnya. Sebaliknya, duduklah sejenak, ambil napas dalam, dan tanyakan kepada diri sendiri: Apa yang sedang aku rasakan? Dari mana datangnya perasaan ini? Apakah ini nyata, atau hanya ilusi pikiranku? Dengan begitu, kita belajar melihat perasaan sebagai bagian dari pengalaman, bukan sesuatu yang harus menguasai diri.
اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗۗ وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ
“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan Allah mengetahui orang-orang beriman (yang sejati) dan sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS Ali Imron:140)
Selain itu, latihan keheningan bisa menjadi cara lain untuk menyelam lebih dalam. Dalam keheningan, seseorang bisa mendengar suara hatinya sendiri dengan lebih jernih. Cukup duduk diam beberapa menit setiap hari, menarik napas dengan sadar, dan menikmati setiap embusan udara keluar-masuk tubuh. Ini bukan sekadar meditasi, melainkan latihan untuk hadir sepenuhnya di momen sekarang, tanpa terombang-ambing oleh masa lalu atau masa depan. Lalu, dalam kehidupan sehari-hari, jadikan aktivitas biasa sebagai latihan kedamaian. Saat minum teh atau kopi, rasakan setiap tegukannya. Saat berjalan, sadari setiap langkah dan hembusan angin yang menyentuh kulit. Saat berbicara dengan seseorang, dengarkan dengan sepenuh hati, bukan hanya untuk merespons tetapi untuk benar-benar memahami.
Menyelami diri juga berarti memeluk kekinian dengan penuh penerimaan. Artinya, berhenti bertanya mengapa hidup begini?, dan mulai menerima bahwa hidup adalah apa adanya. Bukan tentang menghindari masalah, tetapi tentang menyikapinya dengan jiwa yang tenang dan pikiran yang luas. Pada akhirnya, seperti laut yang tetap tenang di dasarnya meskipun permukaannya bergelombang, kita juga bisa menemukan kedamaian dalam diri meskipun dunia di sekitar terus bergejolak. Bukan dengan melawan, tapi dengan mengalir bersama kehidupan.
Menjadi pribadi yang spiritual bukan berarti lepas dari dunia, melainkan memiliki kedamaian di dalamnya. Dalam ketenangan dan kedamaian, kita mampu melahirkan lebih banyak kebaikan, menyebarkan kasih sayang, dan berbuat lebih banyak untuk sesama. Kesuksesan adalah gelombang yang tinggi, kegagalan adalah gelombang yang rendah, tetapi pada akhirnya keduanya akan berakhir di pantai yang sama, memeluk ketenangan yang hakiki.
Para guru bijak selalu mengajarkan bahwa untuk merasakan kedamaian sejati, kita harus belajar mengalir bersama kehidupan. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Heraclitus, “Tidak ada yang bisa melangkah di sungai yang sama dua kali.” Setiap detik yang berlalu adalah momen yang baru, kehidupan terus bergerak dan berubah. Belajar mengalir bersama waktu berarti menerima perubahan sebagai bagian alami dari kehidupan, tanpa perlawanan dan tanpa penyesalan.
Dengan mengalir, seseorang menjadi lebih selaras dengan setiap berkah yang hadir dalam kehidupannya. Setiap kejadian, baik maupun buruk, menjadi bagian dari perjalanan yang penuh makna. Kedamaian bukanlah sesuatu yang dicari di luar, tetapi sesuatu yang ditemukan di dalam diri—ketika kita berhenti melawan, dan mulai menerima hidup apa adanya, dengan penuh kesadaran dan kesyukuran. Tanpa keserakahan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ: «كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ» . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حياتك لموتك.
Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.” Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati.” (HR. Al-Bukhory)
Seni kedamaian adalah seni menyelami diri. Prinsip utamanya mengalir. Saat kita sepenuhnya mengalir, kita tidak saja mengalami kedamaian, tapi juga mengalami pencerahan serta kebersatuan. Semoga dengan kedamaian ini kita semua semakin tahu makna indah di balik Kalam Ilahi:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’du: 28) Di mana artinya; kita sudah berhasil mengalir dan bersatu bersama sang waktu.
AJKH Mas Kus untuk ilmu menerima kehidupan dengan hati lapang dan tenang secara sadar, karena memang semua kehidupan yang kita jalani ini merupakan skenario yang Maha Kuasa. Dengan hati yang tenang, percaya akan kebesaran Allah, insyaallah kita bisa menerima semua kehidupan ini dengan hati lapang serta dapat selalu syukur atas semua adegan-adegan kehidupan yang kita jalani. Hingga kita bisa merasakan nikmatnya desiran udara pagi nan sejuk, serta desiran udara sore yang hangat….Semoga Allah paring manfaat dan barokah.