Hari keempat berpuasa kemarin saya sudah di bentara Jambi. Selepas maghrib saya segera ke masjid untuk taraweh bersama. Sambil duduk santai saya gelar Quran saya dan mulailah saya membacanya. Ketika tengah asyik membaca, datanglah seorang bapak dan segera menghampiri saya. Setelah bersalaman, langsung dia bertanya, ”Sudah sampai juz berapa?”
”Ya, Pak,” saya pura – pura tidak dengar.
”Sudah sampai juz berapa?” tanyanya lagi.
Aku agak bingung, yang dia maksud itu yang di kelompok atau yang saya baca. Maka saya masih diam saja belum membalas. Kemudian dia mengulangi lagi pertanyaannya,
”Yang dibaca itu, sampai juz berapa?”
Pertanyaan itu jelas sekarang, tapi saya ragu untuk menjawab. Saya harus menjaga hati untuk tidak riya itu yang utama. Tapi melihat responnya yang begitu antusias, saya pun akhirnya menjawab, ”Juz 8 Pak.”
”Wah, saya baru Juz 4 lewat dikit,” dengan nada lemah dan kemudian pergi menjauh dari tempat duduk saya.
Kemudian saya istighfar demi melihat kejadian itu semua. Sebab saya tidak bermaksud melemahkan atau memadamkan semangat. Sebenarnya saya sungkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Tapi dia mendesak. Dan kalau jawaban itu ternyata membuat sakit hatinya, tak ada gunanyalah menjawabnya. Dan nasi sudah menjadi bubur.
Sedulur, adalah baik fastabiqul khairat dalam semua ibadah. Akan tetapi yang lebih baik lagi jika bisa mengiringi semua itu dengan niat yang benar karena Allah. Nggak sakit hati, nggak mematahkan semangat.
Oleh :Faizunal Abdillah