Jakarta (5/11). Tahfidz Qur’an atau penghafalan Al Qur’an tidak semudah menghafal sebaris ayat. Konsistensi tinggi dan komitmen untuk terus membaca dan mengulangnya kembali saat senggang adalah kunci.
Orang-orang umumnya menggunakan metode membaca kitab terlebih dulu, lalu pengulangan ayat per ayat. Atau minta disimak guru serta teman-teman sekelompok halaqoh.
Lain halnya dengan Abdussamah, seorang pria yang kini berusia 21 tahun ditakdirkan harus kehilangan penglihatan saat kelas dua sekolah menengah pertama. Saat itu, ia berpikir bahwa dunianya tak lagi sama, seakan-akan tak ada hal apapun yang ingin dilakukannya. Cobaan ini juga membuatnya berhenti sekolah.
Hingga pada usia tujuh belas tahun, Abdussamah mengikuti kegiatan kelompok belajar Halaqoh Tahfidz Qur’an yang berada di Cikarang, dekat lingkungan rumahnya. Ia menjadi termotivasi, karena menurutnya hal inilah yang bisa ia lakukan membangkitkan dirinya dari masa-masa demotivasi, sembari tetap menjaga keimanan.
Setelah terdaftar di kelompok Tahfidz Qur’an tempatnya biasa mengaji itu, ia mulai coba menghafalkan Qur’an dengan mendengarkan bacaan ibunya, pendampingan dari para koordinator Halaqoh Tahfidz Qur’an, maupun rekaman mp3 player. Mulai dari mencoba satu juz secara terus-menerus, Abdussamah remaja menikmati apa yang ia lakukan.
Hingga diluar perkiraan, ia ternyata bisa menghafalkan sebanyak 30 juz Al Qur’an dalam waktu satu tahun, lalu dilancarkan hingga sekarang kurang lebih tiga tahun ia menjaga hafalannya. Dengan keterbatasan yang ia miliki, Abdussamah sudah membuktikan bahwa kegigihan diri juga dukungan keluarga serta guru, target hafalan seluruhnya bisa tercapai.
Arroni Kisti, koordinator pendamping Abdussamah yang ditemui pada acara Ikhtibar Hifdzil Qur’an di Minhajurrosyidin, Jakarta Timur, bulan Oktober lalu menyaksikan, muridnya sangat gigih dan konsisten dalam menghafal serta muroja’ah (mengulang hafalan).
Roni mengatakan, “Jauhi lahan (pekerjaan yang tidak banyak manfaat). Niatkan karena Alloh untuk ibadah, bukan hal yang lain.” Ia juga berpesan kepada santri halaqoh umumnya untuk mengikuti semua metode yang diberikan oleh guru pendamping. Selain itu juga penting mengatur waktu, banyak berdoa.
Ketidakberdayaan Abdussamah yang secara fisik tak bisa membuatnya sekolah lagi, ingin menjadi generasi unggul yang bisa berdaya saing, serta mengangkat derajat kedua orang tuanya dengan menjadi seorang penghafal Qur’an. “Itulah motivasi seorang Abdussamah,” kata Roni.
Apakah Abdussamah pernah kecewa? Tentu saja. Ia hanya seorang anak remaja beranjak dewasa yang sedang asik-asiknya mengenal dunia luar, mengaji bersama, dan aktivitas lainnya. Namun dunianya seketika gelap. Namun, Allah menyelamatkannya dan mentakdirkan jalan hidupnya selalu bersama Al Qur’an. Ia kembali merasa hidup.
Abdussamah merasa kegiatan ini bukan keterpaksaan. Ia justru bangkit dari keterpurukan, menyibukkan diri dengan hafalan dan berbagai kegiatan yang ada dalam lingkungan Halaqoh Tahfidzul Qur’an. Tidak ada kata terlambat untuk belajar mendalami Al Qur’an jika sudah usia tua sekalipun.(noni/rouf/lines)