Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Mengenal lebih jauh apa yang disebut dengan kepemimpinan, kehidupan bertutur indah, tanpa keraguan. Contoh-contoh itu, memberikan pelajaran jelas adanya dua arus utama pemahaman dalam kepemimpinan. Pertama, arus orang – orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin. Yaitu orang – orang yang punya kedudukan atau jabatan. Orang – orang ini tidak punya kapabilitas untuk memimpin, tetapi karena kedudukan dia harus melakukan apa yang disebut memimpin. Mereka memberikan perintah, memberikan arahan dan membuat keputusan. Mereka didengar, mereka dihormati, tetapi sebenarnya semu. Mereka menganggap dirinya sebagai pemimpin. Dan merasa bisa memimpin. Termasuk dalam golongan ini adalah orang yang over confidence dalam hal kepemimpinan. Dia suka ngatur dan berlagak layaknya seorang pemimpin. Hal ini bisa dilihat di sekitar kita. Banyak orang di masyarakat kita menjadi layaknya pemimpin. Semua mau mengatur. Semua mau didengar. Semua mau dihormat. Tak ada yang mau diatur, menghormat dan sedikit mendengarkan.
Arus kedua, adalah yang berada di seberangnya, yaitu orang – orang yang tidak merasa atau bercita – cita menjadi pemimpin. Merasa tidak pantas jadi pemimpin. Merasa tidak ingin menjadi pemimpin. Bahkan mencap dirinya sebagai abdi. Sebab dia bukan pejabat, tidak punya kedudukan ataupun silsilah keturunan. Merasa menjadi bawahan terus, minta dibimbing terus dan diurusi terus. Orang – orang semacam ini punya problem kepercayaan diri. Termasuk dalam golongan ini adalah orang – orang yang minta diperhatikan terus. Diemong terus. Dan tak pernah cukup, dengan bebagai alasan. Mentalitas seperti ini banyak tersebar di sekitar kita. Baik arus pertama maupun arus kedua terjebak pada patron: memimpin adalah mengalahkan orang lain. Inilah kesalahan itu. Memimpin bukan mengalahkan. Dan dipimpin bukan dikalahkan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Maka seorang Imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab akan rakyatnya, seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas keluarganya, seorang wanita adalah pemimpin pada rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas hal itu, seorang budak/pembantu adalah pemimpin atas harta majikannya dan ia bertanggung jawab atas harta majikannya itu.” (HR. Bukhari)
Mudah–mudahan ilustrasi berikut bisa memberikan gambaran yang tegas konsep sebuah kepemimpinan. Tersebutlah kisah persaingan antara Matahari dan Angin. Keduanya berunjuk gigi untuk memperoleh predikat siapa yang terhebat, Angin apa Matahari. Dan jurinya adalah Langit. Suatu hari ada seorang pria berjaket kulit hitam keluar dari rumahnya. Langit pun berkata, “Mari kita uji siapa diantara kalian yang hebat? Caranya siapa yang paling cepat bisa melucuti jaket pria yang baru keluar rumah itu.” Angin mendapat giliran yang pertama, maka dia menyerang pria itu dari kecepatan kecil, sepoi – sepoi sampai dengan kecepatan yang besar, agar pria itu mau membuka jaketnya. Namun apa yang terjadi, semakin kencang angin bertiup, justru semakin kuat pria itu mendekap jaketnya. Akhirnya si Angin pun menyerah. Ia tidak bisa melepas jaket pria itu. Giliran kedua, si Matahari. Ia hanya meningkatkan suhu di sekeliling pria itu, dari sejuk, kemudian hangat, kemudian agak panas dan terakhir panas sekali. Hasilnya, dengan suka rela si pria itu melepas jaket kulitnya. Dengan kesadarannya dia merespon apa yang terjadi di sekitarnya dengan memulainya dari dirinya sendiri. Bukan yang lain. Kepemimpinan adalah seperti matahari. Sedangkan manajerial, kekuasaan ataupun kedudukan laksana angin.
Nah, tatkala kita mengingat asasi kullukum ro’in camkanlah selalu kaidah matahari ini dalam kepemimpinan. Maka, saya pun terinspirasi dengan surat Asy-Syams (1 – 7); “Demi matahari dan cahaya (dhuha)-nya, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta yang membangunnya. Dan bumi serta yang membentangkannya. Dan diri serta yang menyempurnakannya.” Sebab tanpa malu dan ragu lagi, sudah seyogyanya kita belajar kepada sang matahari.