Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Salah satu ukuran kebahagiaan seseorang bisa dilihat dari tingkat kesyukurannya. Semakin tinggi mentalitas kesyukuran seseorang, menunjukkan semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya. Bahkan semua sepakat, bahwa hidup penuh kesyukuran itulah hidup yang penuh kebahagiaan. Karena Allah juga senang.
وَإِن تَشْكُرُوا۟ يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kalian bersyukur, maka Allah ridho/senang terhadap kalian.” (QS Az-Zumar:7)
Kesyukuran yang pol seperti cerita pendekar silat yang nggak pernah mati gaya; kembang jadi buah dan buah jadi kembang. Selalu menang dan menang dalam menghadapi segala situasi apapun. Bukan lagi berada pada aras – Lain syakartum la aziidannakum, tetapi sudah lebih jauh lagi. Maksudnya tidak lagi hanya berpandangan kalau syukur terhadap nikmat itu akan ditambah, akan tetapi memahami 3 siklus kesyukuran bahwa kesyukuran itu sendiri adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya sebagai bentuk ibadah. Bersyukur itu akan mempertahankan nikmat. Bersyukur juga akan menarik nikmat yang hilang. Dan bersyukur pun akan menambah nikmat yang telah Allah berikan. Akhirnya, hidup ini jadi kewalahan syukur, sehingga bisa memahamai dengan indah selarik bait Kalamullah berikut.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka itu dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53).
Mungkin sudah lama dan sering kita mendengar dalil; Lain syakartum la aziidannakum. Banyak yang hafal. Gampang, tapi susah. Susah menemukan pemahaman dan penghayatan agar benar – benar nyanthol di hati. Meresap dan bisa menjelma menjadi afala akunu abdan syakuron – derajat tertinggi dalam hal syukur ini, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ﷺ yang kontinyu sholat malam sampai telapak kaki bengkak dan pecah – pecah. Namun sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita ikuti barisan anak tangga selangkah demi selangkah. Tidak perlu terburu – buru. Sebab untuk menjadi ahli syukur perlu waktu dan usaha yang terus-menerus agar tidak mati layu.
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى حَتَّى انْتَفَخَتْ قَدَمَاهُ فَقِيلَ لَهُ أَتَكَلَّفُ هَذَا وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ « أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا ». رواه مسلم.
Dari Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya Nabi ﷺ melaksanakan shalat hingga kedua telapak kakinya bengkak. Lalu dikatakan kepadanya, “Mengapa engkau membebani dirimu, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab, “Bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?” (HR. Muslim).
Kesyukuran tidak bisa dibuat – buat. Dia haruslah berasal dari hati terdalam dengan mengikutkan seluruh indera kita dalam satu waktu, satu kesempatan. Terganggu sedikit proses tersebut, akan hilang totalitas kita dalam bersyukur. Oleh karenanya perlu banyak berlatih, disiplin dan penuh penghayatan. Yang penting lagi kesadaran kita akan situasi yang kita jumpai, sak dek sak nyet. Sang Guru Bijak selalu memberikan penjelasan lewat cerita penuh inspirasi Nasrudin Hodja berikut ini.
Setelah lama bepergian jauh, Nasrudin Hodja tiba kembali di rumahnya. Istri tercintanya menyambut dengan gembira. Lalu dihidangkanlah keju untuknya.
“Aku punya sepotong keju untukmu,” kata istrinya.
“Alhamdulillah,” puji Nasrudin, “Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut.”
Tidak lama kemudian Nasrudin Hodja kembali pergi beberapa waktu lamanya untuk keperluan yang lain. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga. Namun kali ini tidak ada keju yang dihidangkan. Teringat akan memori yang dulu, Nasrudin pun bertanya, “Adakah keju untukku?”
“Tidak ada lagi,” kata istrinya.
“Ahamdulillah, tidak apa-apa. Lagi pula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi”, kata Nasrudin.
“Jadi mana yang benar ?” kata istri Nasrudin bertanya-tanya, “Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?”
“Itu tergantung,” sambut Nasrudin, “Tergantung apakah kejunya ada atau tidak dan bagaimana kita mensyukuri setiap keadaan yang kita jumpai.”
Kisah ini semoga bisa menjadikan inspirasi mendalam buat kita semua untuk memiliki mentalitas syukur yang komplit dan menyeluruh. Pol. Tertinggi, pada waktunya. Paradigma dan kesadaran syukur setiap waktu. Pada puncaknya, apapun keadaan yang kita jumpai, selalu melahirkan kejutan-kejutan indah sebagai manifestasi kesyukuran. Karena bisa memahami dalam kontek global bahwa hakikat ibadah adalah syukur itu sendiri, bagaimanapun, dimanapun dan kapanpun sebagaimana firman indah Allah dalam ayat ini.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kalian menyembah. (QS Al-Baqarah:172)
Melengkapi potret kesyukuran dari ayat di atas, sabda berikut datang untuk menenteramkan keadaan. Karena dengan kesyukuran hidup jadi mudah dan indah.
عَنْ صُهَيْبٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ” .
Dari Shuhaib berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Rowahu Muslim)
Mudah mudahan alloh paring kita menjadi ahli syukur.
Alhamdulillahi jaza kallohu khoiro
Ijin share
Alhamdulillah, semoga kami sekeluarga menjadi orang yg bersukur