SUMPAHIN ATAU DOAIN
Assalamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Belum lama ini, saya kehilangan notebook yang sangat penting artinya buat saya, diambil orang yang mengaku montir komputer …Dan akhirnya dengan pasrah saya istirja’ saja…. Tapi dalam hati saya, ada rasa kesal dan ingin nyumpahin orang ini, karena data yang sangat berarti buat saya hilang bersama notebook itu.
Tapi saya teringat dengan istirja’ yang sudah saya ucapkan, bahwa saya menginginkan yang lebih baik. Jadi sumpah serapah terhadap orang yang mencuri itu tidak saya ucapkan. Dengan sedikit bergaya detektif, saya berusaha melacak, dan ternyata tidak berapa lama notebook saya dikembalikan oleh ibu si pencuri ini, yang mengetahui kelakuan anaknya yang ternyata residivis. Si ibu dengan hati besar menceritakan kelakuan anaknya itu… Akhirnya saya maafkan saja dan saya tidak melanjutkan masalah ini ke polisi, yang penting notebook itu bisa kembali. Hikmahnya adalah ternyata istirja’ dan doa itu penting sekali saat kita tertimpa cobaan dan musibah maupun terdzolimi.
Bagaimana jadinya kalau setiap didzolimi, kita tidak mendoakan tapi hanya menyumpahi saja? Bisa jadi kejahatan akan terus bertambah, simpati tidak akan datang, bahkan permusuhan dimana mana. Atau kita berkata ‘terserah Allah untuk menghancurkan setiap orang yang mendzolimi kita.’ Kadangkala, diejek teman tidak cukup balas mengejek, ditambah memukul plus sebaris sumpah: “Saya sumpahin mulutmu sobek…” Waktu masih mahasiswa, di tempat kontrak ada teman yang mengambil makanan di meja tanpa izin, si pemilik berucap: “Yang makan makanan saya perutnya buncit seumur hidup.” Pernah juga kita mendengar: “Saya sumpahin tertabrak kereta itu orang,” dari mulut orang yang baru saja kecopetan. Ketika didzalimi, kemudian kita menangis dan meminta bantuan Alloh: “Ya Alloh, hukumlah seberat-beratnya orang ini…” Cerita lain, “dia sudah menyakiti saya selama bertahun-tahun, kebahagiaan saya adalah kalau melihat dia sengsara seumur hidup…” Waduuuh…ngeri amattt…
Bagaimana Rasulalloh SAW menyikapi saat dia didzolimi? Seandainya Rasulalloh berkata, “Terserah…” ketika Malaikat menawarkan diri untuk membalikkan gunung untuk ditimpakan kepada masyarakat Thaif yang telah menolak, menghina dan mendzalimi Rasulalloh SAW dan para sahabatnya, mungkin tidak ada orang beriman dari kota Thaif, dan cerita selanjutnya pun akan berbeda. Justru saat itu Rasulalloh SAW melarang malaikat menghancurkannya, bahkan mendoakan orang Thoif itu ”Mudah-mudahan akan terlahir dari mereka keturunan yang sholeh” dan ternyata benarlah, banyak pejuang Islam lahir dari penduduk Thaif yang menganiayanya.
Kalau Muhammad Rasulalloh SAW kecewa dan marah, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah dan malaikat-Nya untuk memberikan ganjaran yang setimpal – atau seberat-beratnya – kepada para penduduk yang membenci dan mencederainya, maka sejarah tentang keteladanan Muhammad SAW tidak akan terukir indah. Sebab segala apa yang dilakukan Rasulalloh, sejak dari kecil hingga besar, mulai dari diamnya, kata-katanya, duduk, berdiri dan jalannya, serta gerak-gerik sekecil apapun adalah kisah-kisah indah yang tak terpisahkan.
Misalkan masyarakat Thaif benar-benar musnah setelah ditimbun gunung atas seizin Rasulalloh, dan masyarakat di kota-kota lainnya melihat apa yang terjadi di Thaif itu, mungkin mereka yang sebelumnya terpesona dengan ajaran Islam akan mundur dan lari dari Islam. Yang semula memuji akhlak Muhammad SAW, akan mencibir dan tak lagi mau menjadi pengikutnya, menyelami dan mengamalkan ajarannya yang terkenal. Karena kemuliaan hati dan akhlaknya itu tak sedikitpun Muhammad SAW marah, apalagi menaruh dendam atas penolakan dan penghinaan yang diterimanya. Padahal, kalau ia mau, orang yang meludahinya bisa saja tiba-tiba tidak bisa bicara, atau putus lidahnya. Kemudian orang yang menghina mulutnya penuh borok yang tak kan pernah sembuh seumur hidup. Batu yang diarahkan ke dirinya berbalik mengenai yang si pelempar, yang menendang kakinya lumpuh, bahkan sekadar memeloti saja bisa buta.
Muhammad SAW bisa bilang: “Ya Alloh, dia mengejek saya, cabut nyawanya sekarang” maka matilah orang itu. Bisa juga Muhammad SAW berdoa: “Ya Alloh, siapapun yang menolak saya, putuskan rezekinya,” atau “Orang ini tak menerima ajaran Islam, bahkan menghasut orang lain untuk menolaknya, buatlah ia miskin ya Alloh.” Atau setidaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Alloh, “Terserah Engkau ya Alloh akan ditimpakan musibah jenis apa pada mereka yang telah menghina agama-Mu…” Tapi fasilitas itu tidak diminta oleh Muhammad SAW. karena ia tahu masyarakat akan semakin menolak dan membencinya. Dakwah Rasulalloh SAW justru berhasil dengan kemuliaan akhlak dan tutur kata. Keindahan perilaku Muhammad SAW berbuah manis dengan diterimanya Islam di kemudian hari.
Kita yang didzolimi harus ingat bahwa doa orang yang didzolimi tidak ada batas, bisa langsung terijabah. Hati-hati dengan doa yang diucapkan ketika kita marah dalam keadaan terdzolimi, perselisihan yang semestinya bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari, bisa berkepanjangan akibat sumpah dan doa buruk dari kita. Rasulullah mencontohkan dua hal: maafkan dan doakan untuk kebaikannya. Tidak perlu merasa rugi mendoakan kebaikan untuk orang yang mendzolimi kita, Insya Allah kita mendapatkan lebih banyak kebaikan dari yang ia terima. Semoga kita bisa meneladani Rasulalloh SAW saat kita terdzolimi. Amin.
Wassalamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Tito Irawan