Bogor (12/12). International Institute of Islamic Thought (IIIT) bersama dengan Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, dan Universitas Al-Azhar Indonesia mengadakan webinar mengenai Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara.
Dalam kesempatan tersebut, hadir cendekiawan muslim, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah berbicara tentang tokoh kita ini Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas atau yang kerap disapa Tan Sri.
“Banyak negara muslim yg walaupun sudah bebas dari penjajahan, namun masih banyak yg dijajah dalam bentuk pemikiran, pandangan alam dan sudut ilmu sekularisme,” ujar Prof. Abdul Malik.
Sebelum masuk ke materi, Prof. Abdul Malik membahas mengenai biodata Tan Sri. Sebagai informasi, Tan Sri merupakan keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Syaidina Husain yang memiliki ilmu agama kuat dan ulama kerohanian.
“Melihat dari sudut keilmuan dapat dilihat dari International Institute of Islamic Thought and Civilization atau sering disebut Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam di tahun 1989 hingga 200, kehebatan Tan Sri adalah kemurnian ilmunya dan juga disiplin,” katanya
Tan Sri juga memliki keistimewaan dapat menggabungkan beberapa paham ilmu menjadi satu kesatuan yang harmonis.
“Peranan Tan Sri yang memiliki displin diri dan kreativitas di antaranya tradisi tradisi ketentaraan di Eaton Hals, Wales dan royal Military Academy, Sandhursi England, Keindahan senibinia, dan kaligrafi,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Tan Sri juga memliki karya karya buku salah satunya Islam And Secularism.
“Buku ini merupakan karya yang penting karena Tan Sri menjelaskan tentang sekularisme, perbedaan dengan islam dan perbedaan antara barat yang dipengaruhi oleh banyak ide ide sekuler.
Sementara itu, Tan Sri menjelaskan Islam itu berasal dari agama Tanzilan yang berasaskan wahyu. Sementara itu, pandangan alam yang dipancarkan oleh Islam adalah pandangan alam yang cukup jelas dan tetap walaupun padangan secularism itu juga kuat.
Prof. Abdul Malik juga mengatakan, Tan Sri juga menulis tentang risalah untuk kaum muslimin. Ia menambahkan, penjajahan memilukan yang datang dari barat datang dan berkaitan dengan umat islam. Di antaranya, falsafah ilmu, yang menjadikan kekeliruan agama yang tercampur dari falsafah barat dan tradisi-tradisi.
“Tujuan utama Tan Sri adalah memberikan counter natarive terhadap falsafah dan pandangan alam yang dibawa oleh kebudayaan barat,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPP LDII, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono mengatakan, pemimpin islam pada waktu itu semangat berjuang untuk melawan kolonialisme penjajah.
“Sebuah perjuangan untuk melawan kolonialisme membutuhkan sebuah ideologi nasionalisme. Pada saat itu, ideologi nasionalisme dan sosialisme belum berkembang,” katanya.
Sementara itu, Prof. Singgih melanjutkan, Islam sudah mendapat pijakan yang kuat di wilayah Indonesia. “Meskpun pada waktu itu islam yang dianut masyarakat masih relatif tercampur dengan budaya lokal,” ujarnya.
Salah satu Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang ini mengatakan, sebagian para pemimpin Islam mencoba mengadopsi nilai-nilai ideoogi Islam.
“Hal ini dalam rangka melawan ideologi kolonialisme dan ingin membangun satu negara dengan membawa nilai-nilai islam yang tidak keluar dari ideologi Pancasila,” pungkasnya. (Indah/Wicak/LINES)