Jakarta (20/12). Generasi Z dan milenial bakal jadi kunci kemenangan dalam Pemilu 2024. Bila partai politik (parpol) tidak segera bergerak dan mengelolanya, bisa dikatakan suara mereka mubazir.
Co-founder Ruang Demokrasi, Ludhy Cahyana mengatakan, para milenial yang diduga sebagian besar adalah “kaum rebahan” di sisi lain memiliki kelompok-kelompok yang haus informasi, “Mereka yang haus informasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik. Mereka sebagaimana milenial dan generasi Z lainnya, merasa kurang terwakili dalam demokrasi,” ujar Ludhy yang juga Ketua Departemen Komunikasi Informasi Media (KIM) DPP LDII.
Merujuk hasil Sensus Penduduk 2020, populasi Gen Z mencapai 74,9 juta atau 27,7 persen dari total 270,2 juta penduduk. Sementara generasi milenial berjumlah 69,4 juta atau sekitar 25,9 persen dari total penduduk. Berdasarkan kategori BPS, Gen Z meliputi mereka yang lahir antara 1997-2012, sementara milenial adalah generasi yang lahir 1981-1996.
Problematikanya adalah milenial merasa suaranya tidak terwakili oleh para legislator. Sementara asupan-asupan informasi yang mereka terima, membuat mereka mencari figur-figur pembenah negeri ini. “Ini seperti getaran kelompok yang menyatakan bagian dari 99 persen di New York atau jaket kuning di Paris,” ujar Ludhy.
Berdasarkan Survei Indopol yang disampaikan Direktur Eksekutif Indopol Survey and Consulting, Ratno Sulistiyanto, sebanyak 22,05 persen dari milenial mengaku sering memanfaatkan media massa dan media sosial sebagai sumber informasi. Sementara 42,32 persen lainnya jarang mendapat informasi terkini terkait politik yang artinya, dengan edukasi politik seperti ideologi hingga program kerja parpol, milenial akan memberi suara yang signifikan.
Sementara, sebagai sumber informasi dari media massa, mereka mengandalkan media massa online nasional dan media lokal. Dari survei Indopol didapatkan, milenial yang membaca detik.com (16,34 persen), Kompas.com (15,16 persen), media online lokal (10,24 persen) CNN Indonesia (6,5 persen) sementara Viva News 1,57 persen dan Republika Online 0,79 persen.
Hasil pembacaan mereka, menentukan pilihan politik mereka. Bahkan mereka menolak politik uang. Sikap tersebut tampak pada 37,4 persen menolak politik uang dengan berbagai alasan, sementara yang menerima politik uang sebesar 24,8 persen.
Artinya, pemilih milenial dan generasi Z, merupakan pemilih yang rasional bila mendapat edukasi politik lebih dalam. Ketidakterwakilan itu bisa mendorong lahirnya nasionalis kanan dan sekaligus fundamentalisme. Bila mereka mengkoreksi dengan ideologi di luar demokrasi, ini bisa menjadi masalah bagi perjalanan sejarah bangsa.
“Ingat, dari pembacaan mereka atas realitas sosial, mereka memiliki pandangan ideal di kepala mereka bagaimana sebuah keadilan dan kemakmuran terwujud dalam sebuah negeri,” paparnya.
Untuk itu, Ruang Demokrasi mengimbau agar partai politik terus mengedukasi generasi Z dan milenial. Sebab, menurut Ludhy, sejarah hari ini sangat menentukan Indonesia pada masa yang akan datang. (Laras/LC/LINES)
Alhamdulillah pelan tapi pasti ldii semakin diperhitungkan…