Oleh Wilnan Fatahillah
Diskursus agar umat Islam di Indonesia menjadi penengah sekaligus solusi, filosofinya terdapat di dalam Al Quran. Tepatnya, terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 143. Ayat tersebut berisikan tentang ummatan wasathon yakni Islam sebagai umat pertengahan. Banyak ulama berpendapat ayat ini menjadi sumber tentang pemahaman Islam wasatiyyah.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Entah suatu kebetulan atau bukan, ayat ini berada di tengah-tengah surat Al Baqarah – selaras dengan maknanya sebagai penengah. Surat Al Baqarah sendiri merupakan surat terpanjang di dalam Al Quran dengan 286 ayat. Di dalamnya juga terdapat ayat terpanjang dibanding ayat lain, yakni ayat 282. Sehingga terdapat sebuah ayat yang istimewa di dalam surat yang istimewa pula.
Di dalam Al Quran, kata wasath dengan berbagai derivasinya diulang sebanyak lima kali dalam empat surat yang berbeda. Terdapat beberapa penafsiran mengenai kata wasath dalam ayat tersebut. Sebagian ulama menafsirkan kata wasath dengan arti sebenarnya yaitu “Pertengahan” antara dua ujung sisi. Sebagian lagi menafsirkannya dengan makna konotatif, yaitu pertama, kata wasath dapat bermakna “Adil” yakni ummah yang mampu berbuat dan bersikap adil di antara umat lain.
Kedua, kata wasth dapat bermakna “moderat” yaitu ummah yang perilakunya diterima oleh orang lain dari berbagai ragam keadaan manusia. Ketiga, kata wasath dapat bermakan “Pilihan” yaitu ummah yang diberi tugas menjadi saksi bagi seluruh manusia. Keempat, kata wasathan dapat bermakna sebagai al-tawazun, yakni keseimbangan antara dua hal yang bertentangan seperti antara ruh dan materi, antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu dan lain-lain. Keseimbangan yang dimaksud dalam hal ini adalah ummah yang menjunjung tinggi prinsip keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannaas, ummah yang tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan, tidak ekstrem dan juga tidak longgar.
Jika dipahami secara tekstual, kata wasath kerap disandingkan dengan kata ummah, bukan dengan kata Islam. Akan tetapi jika dipahami secara kontekstual, kata wasath dapat diartikan sebagai ciri dan pengkhususan dari konsep atas keyakinan ajaran Islam. Ketika dipandang sebagai keyakinan ajaran Islam, maka prinsip wasath telah melekat pada Islam itu sendiri. Dari sinilah lalu kemudian mayoritas ulama dan institusi agama mengusung istilah Islam Wasathiyyah. Sehingga bisa dipahami bahwa pada dasarnya Al-Wasathiyyah adalah sebuah cara berpikir dan berperilaku dalam kehidupan keagamaan, yang didasari atas sikap tawazun (keseimbangan) sehingga tidak berbenturan dengan keadaan masyarakat yang plural, dan pada saat yang bersaman tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
Konsep atau cara ini cocok dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara fitrah terlahir dengan beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Konsep ini telah mendorong perilaku kehidupan beragama yang toleran, inklusif, dan humanis. Oleh karena itu, tegaknya NKRI sudah seharusnya menjadi sebuah cita-cita dan tanggungjawab semua pemeluk agama dan seluruh elemen bangsa untuk memelihara kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.
Sebaliknya pemahaman agama yang tatharruf ataughuluww dapat melahirkan cara berpikir radikal yang negatif dan melahirkan ekstremisme bahkan terorisme. Rasulullah telah mengingatkan agar tidak berlebihan dalam menjalankan agama, perhatikanlah hadit-hadits dibawah ini:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ
Artinya : Wahai seluruh manusia, hindarilah ghuluw (pelampauan batas) dalam keberagamaan. Karena yang membinasakan (umat) sebelum kamu adalah ghuluw dalam ke beragamaan.” (HR Ibnu Majah).
هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
Artinya: “Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali (HR Muslim).
لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
Artinya: Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka (HR Abu Daud).
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ
Artinya : Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah/gagal. (HR Bukhari).
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam melarang perbuatan-perbuatan ghuluw (melampui batas), tanaththu’ (sikap ekstrem), tasyaddud (memberatkan diri) dantakalluf (memaksakan diri) baik dalam bersyariat maupun berakidah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai peranan penting dalam membumikan Islam Wasatiyyah, hal ini ditandai melalui Musyawarah Nasional MUI pada 24-27 Agustus 2015 yang mengusung tema “Islam Wasathiyyah untuk Indonesia dan Dunia yang Berkeadilan dan Berkeadaban”
Munas tersebut menetapkan Islam Wasathiyah sebagai paradigma pengabdian, melalui sepuluh prinsip konsep wasathiyyahnya, yaitu: (a) Al-Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu:
- Pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama).
- Al-Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilâf (perbedaan).
- Al-I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
- Al-Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
- Al-Musawat (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
- Al-Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
- Al-Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik, yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadam al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
- Al-Aulawiyyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan, untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah.
- Al-Tathawwur wa al-Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia.
- Al-Tahadldlar (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah (umat terbaik) dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
Ust. Wilnan Fatahillah, S.H.I, M.M adalah anggota Pendidikan Agama dan Dakwah (PAD) DPP LDII dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Huffadz Cibinong, Kabupaten Bogor.
Mantab jadi warga LDII, bangga jadi warga Indonesia, semoga barokah