Jakarta (28/2). Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI, resmi menetapkan 1 Ramadan 1446 H, jatuh pada 1 Maret 2025. Keputusan ini diumumkan dalam Sidang Isbat yang digelar di kantor Kemenag RI, Jakarta, pada Jumat (28/2).
Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam konferensi pers menyatakan bahwa hilal telah teramati di wilayah paling barat Indonesia, yakni Aceh, sehingga awal Ramadan dimulai pada Sabtu (1/3). “Kami harus menunggu wilayah paling barat di Aceh. Karena pada malam ini Indonesia bagian timur, tengah, dan barat di ekor pulau Jawa masih belum terlihat,” ujar Nasaruddin.
Ia menambahkan, keputusan ini juga sudah sesuai dengan sudut ketinggian hilal dan elongasi di Indonesia. “Ketinggian hilal di Indonesia adalah 3° 5,91’ menit hingga 4° 40,96’ menit, dengan sudut elongasi antara 4° 47,03’ menit hingga 6° 24,14 menit,” jelas Nasaruddin.
Ketua Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) DPP LDII, KH Aceng Karimullah mengatakan bahwa dalam penetapan awal Ramadan digunakan dua metode, yaitu hisab dan rukyat. Ia menjelaskan, hisab merupakan metode perhitungan astronomi untuk menentukan posisi bulan secara matematis, sementara rukyat mengandalkan pengamatan langsung terhadap hilal.
“Berdasarkan metode hisab saat matahari terbenam, bulan sudah di atas ufuk, jika berpegang ke metode hisab maka malam ini sudah masuk 1 Ramadan. Namun, berdasarkan metode rukyat, keputusan baru bisa diambil jika hilal benar-benar terlihat. Kemungkinan besar hilal dapat diamati dari Banda Aceh dan Sabang,” paparnya.
Sementara itu, Koordinator Tim Rukyatul Hilal DPP LDII, Wilnan Fatahillah mengatakan bahwa kedua metode perlu digunakan untuk menjaga kehati-hatian dalam penentuan awal bulan Hijriah.
“Kami menggunakan dua metode ini sesuai dengan keputusan Komisi Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah harus menggunakan rukyat dan hisab. Keduanya memiliki landasan dalil,” ujar Wilnan.
Selanjutnya, Wilnan mengajak umat Islam untuk tetap menjaga persatuan dalam menyambut bulan suci Ramadan, meskipun terdapat perbedaan dalam metode penentuan awal bulan. “Kita harus tetap toleran terhadap perbedaan metode dan menjalankan ibadah dengan penuh kekhusyukan,” pungkasnya.
Dalam proses pengamatan hilal, LDII turut berpartisipasi dengan mengerahkan tim pemantau di 82 titik yang tersebar di berbagai daerah. Upaya ini dilakukan untuk memastikan hasil rukyatul hilal yang lebih akurat dalam mendukung penentuan awal bulan Ramadan. “Kami berkomitmen menyelaraskan metode ilmiah dengan aspek keagamaan, serta memperkuat kebersamaan dalam menentukan awal Ramadan,” tutup Wilnan.