Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Sudah banyak bukti. Selain bertanya itu susah, ternyata menjawab pertanyaan itu lebih susah. Selain kebenaran, harus ada kepuasan dalam level yang sama. Baik bagi yang bertanya maupun yang ditanya. Makanya orang sering bilang susah – susah – mudah. Banyak susahnya dari pada mudahnya. Mungkin akan beda kalau idiomnya mudah – mudah – susah, artinya banyak mudahnya dibanding susahnya. Untuk itu ada baiknya kalau kita mengenal seni bertanya. Tak lain untuk memacu emosi kemajuan spiritual jiwa.
Saya setuju dengan istilah pertama di atas; susah-susah mudah. Sangat jarang pada kesempatan pertama, jawaban atas pertanyaan yang dimaksud, sesuai dengan karep (keinginan) si penanya. Biasanya baru pada kesempatan berikutnya, terjadi transformasi yang luar biasa. Sesuai harapan, paham dan tercerahkan. Tak jarang malah banyak yang asal jawab, sehingga membuat susah si penanya. Bukan paham, malah bingung. Lihat berita di TV-TV, untuk menjawab 10 pertanyaan saja, seseorang yang dipanggil dan diperiksa KPK diperlukan waktu 10 jam. Lama bukan? Rata-rata 1 pertanyaan 1 jam. Pertanyaan macam apa itu, sehingga butuh jawaban yang lama, panjang dan lebar. Ingin tambah dan tambah lagi.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: (سَأَلتُ النبِيَّ صلى الله عليه وسلم : أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إلى الله؟ قال: الصَّلاَةُ عَلَى وَقتِهَا. قلت: ثم أَيُّ؟ قال: بِرُّ الوَالِدَينِ. قلت: ثم أَيُّ؟ قال: الجِهَادُ في سَبِيلِ الله. قال: حَدَّثَنِي بِهِنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي)
Dari Abdullah bin Mas’ud -raḍiyallāhu ‘anhu- ia berkata, “Aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, “Amal apakah yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab, “Salat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau bersabda, “Jihad di jalan Allah.” Ia berkata, “Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menuturkan semua itu kepadaku, dan seandainya aku meminta tambahan, niscaya beliau menambahkannya untukku.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para leluhur mengatakan, jika tidak mengerti bertanyalah. Petuah yang bijak, diiringi pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Yang ingin menunjukkan bahwa bertanya itu diperlukan agar tidak tersesat. Tetapi setelah mengerti banyak juga yang terus bertanya dan bertanya lagi. Katanya untuk kepuasan. Ketagihan. Semua-semua ditanya. Tidak lega kalau tidak bertanya. Bertanya menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya terkandung maksud – maksud lain. Ada sesuatu dibalik pertanyaan itu, selain niat tulus ketidaktahuan.
Yang lain ada yang memilih diam, tidak bertanya. Diam adalah emas, itulah mottonya. Mau mengerti ya diam. Tidak mengerti pun diam. Atau mengangguk pura-pura faham. Nanti tanya kepada teman atau kapan – kapan. Ketika datang kesadaran atau pengertian – setelah sekian waktu, seringkali berteriak sendiri; Alhamdulillah ketemu juga sekarang. Setelah sekian lama mencari. Oh, begini toh ternyata. Itu bisa terjadi tahunan, di saat yang lain sudah paham dan meninggalkannya. Dia baru sadar. Jadi berubahlah pepatah indah di atas; malu bertanya, jalan – jalan. Itulah sifat sebagian manusia dalam menikmati kehidupan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, (justru) akan menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu, Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.” (QS. Al-Mā`idah: 101).
قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ
“Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.” (QS. Al-Mā`idah: 102).
Bertanya boleh – boleh saja, asal ingat aturan mainnya. Tak semua orang harus bertanya untuk mengerti, dan tidak setiap pertanyaan harus dijawab. Kadang malah tidak ada jawabnya. Tak jarang malah mengerti sendiri itu jadi pertanyaan. Aneh bukan? Contohnya seperti ketika Nabi Musa minta kepada Allah untuk melihat wajahNya. Boro – boro melihat, malah pingsan. Allah berfirman;
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa, “Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allâh Azza wa Jallaberfirman, “Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman.” (QS al-A’râf:143)
Ada tata cara yang jelas disampaikan dalam hal bertanya ini. Allah berfirman,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan), jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl 43).
Inilah aturan pokok bertanya, ketika kita memang tidak tahu. Dan bertanyanya juga kepada orang yang tepat, agar tidak tersesat. Allah berfirman;
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).” (QS An-Nisa:83)
Aturan berikutnya adalah bertanyalah untuk sesuatu yang bermanfaat, seperti untuk menambah keimanan dan keyakinan. Seperti kisah Nabi Ibrohim minta kepada Allah untuk ditunjukkan bagaimana Allah membangkitkan orang yang mati karena: litathmainna qolbii. Atau kisah Uzair yang lewat di suatu kampung yang telah rata dengan tanah, sebagaimana Allah jelaskan dalam surat Al-Baqoroh ayat 259 – 260.
أَوْ كَٱلَّذِى مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِىَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْىِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِا۟ئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُۥ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِا۟ئَةَ عَامٍ فَٱنظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَٱنظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَٱنظُرْ إِلَى ٱلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Baqoroh:259)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Ibrohim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibarohim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqoroh:260)
Jangan sok tahu seperti kisah Nabi Musa ketika berguru dengan Nabi Khidhir, atau pepeko seperti kisah Bani Isroil dengan Nabi Musa ketika disuruh mencari sapi betina untuk dipotong guna menemukan siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Lengkap sudah contohnya. Semua dari Bani Isroil. Maka tak heran kadang kita sering mendengar cap Bani Isroil pada orang yang banyak bertanya. Seperti himbauan, jangan banyak bertanya nanti kayak Bani Isroil. Maklum, tapi esensi bertanya tetap harus ada karena dalam hal tertentu bertanya memang ada guna dan manfaatnya.
Nah, sebenarnya kisah Bani Isroil ini masih ada baiknya. Tidak melulu jelek. Sebab walaupun sok tahu atau pepeko mereka tetap mengerjakan perintah. Walaupun yang tadinya gampang jadi susah. Karena sebenarnya yang paling bahaya adalah bertanya untuk merubah hukum dari halal menjadi haram atau sebaliknya. Begini konsekuensinya. Dari Sad Ibn Abī Waqqāsh dari Nabi—shallallāhu alaihi wa sallam—bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pilihan ada di tangan kita, mari gunakan hak bertanya dan bertanyalah dengan bijak. Niscaya Allah berkenan memberikan rahmatnya.
نْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (Muttafaqun ‘alaih)