Ketika pertama kali melangkahkan kaki ke jenjang perkawinan, sebenarnya ada satu hal yang mengganjal dalam diri saya. Bisakah saya mencintai istri saya? Sepertinya ini pertanyaan tolol yang tidak seharusnya terjadi. Tapi itulah yang terjadi. Sampai akhirnya saya benar – benar menjejakkan kaki, memasuki mahligai rumah tangga dengan seseorang yang disebut istri. Seorang perempuan yang sekarang berada di samping saya dan ada dalam peluk – cium kehidupan saya. Bahkan telah memberikan saya (sebagai perantara) empat orang anak yang lucu, cakep dan ayu. Kenapa pertanyaan itu muncul? Ceritanya begini.
Beristri adalah berbagi. Kalau dulu semasa bujangan apa – apa adalah untuk diri sendiri, setelah beristri tentu sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Nah, dulu ketika bujangan saja tidak bisa mencintai diri sendiri, lah sekarang kok mencoba mencintai orang lain? Sebab orang harus bisa mencintai diri sendiri dulu toh, sebelum mencintai orang lain bukan?
Inilah kisah yang melatarbelakangi itu. Suatu saat ada seseorang yang bertanya kepada Abu Dzar al-Ghiffari, salah seorang sahabat Nabi SAW, tentang arti cinta. Dia bertanya, ''Hai Abu Dzar, pernahkah engkau melihat orang yang berbuat jahat terhadap orang yang amat dicintainya?''
''Ooo, pernah. Bahkan sering, saya melihatnya,'' jawab Abu Dzar. ''Dirimu sendiri itu adalah orang yang paling kamu cintai. Dan kamu berbuat jahat terhadap dirimu bila durhaka kepada Allah,'' jelasnya.
Merujuk pendapat itu, saya jadi mati kutu. Ada perasaan takut luar biasa. Karena seringnya berbuat durhaka. Sering menganggurkan diri dari amal sholih. Mengosongkan waktu dari pahala. Banyak bermain dan banyak melakukan hal yang tidak bermanfaat. Penampilan seenaknya. Apakah bisa ini disebut mencintai diri sendiri? Yang saya lakukan sesungguhnya merupakan perwujudan kebencian terhadap diri sendiri. Nggak sayang, nggak eman dengan badan dhewek. Dengan demikian, sebenarnya saya telah tega berbuat jahat terhadap 'orang' yang amat saya cintai bukan? Relevansinya, jangan sampai nanti istri cuma jadi korban. Hanya sebagai pelampiasan, tidak diperhatikan dan jadi obyek seperti orang yang didholimi. Tidak terpenuhi hak – haknya.
Maka, di awal – awal perkawinan saya sering katakan kepada istri, “Mari kita berpacu di jalan Allah. Sebab di sanalah cinta kita akan bersemi. Jangan mengharapkan cinta dari saya yang sulit mencintai diri sendiri. Mari cintai diri kita sendiri.” Kalimat puitis, yang saya yakin istri juga bingung menterjemahkannya, walaupun dia bilang, “ Ya.” Sampai akhirnya hubungan itu mencapai kesetimbangan dan kesepahaman, bahwa dengan dasar yang sama, tujuan yang sama, di atas jalan – jalan Allah dan panji – panji cintaNya, di bawah rahmat dan bimbinganNya, akhirnya cinta itu bersemi. Mekar. Harum dan mewangi. Meminjam istilah sekarang, seperti layakanya “ketika cinta bertasbih”.
Dan kini, ketika rasa itu melambung tinggi, tatkala saya bilang I love you, kepadanya, rasanya seperti bilang I love my body. Justru, lantaran istri, saya mendapatkan kembali bagaimana jalan dan bentuk untuk bisa mencintai diri sendiri. Egois, tapi fantastis. Inilah bagian dari jalan syukur itu. Rahasia Ilahi dalam mengarungi bahtera cinta dalam rumah tangga. Menguak kebesaran-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Ruum ayat 21; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu bertempat (memperoleh ketenangan dan ketentraman) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Oleh ;Ust. Fahmi