Sepanjang umur saya yang genap setengah abad, baru tercatat beberapa kali saya berhubungan dengan prosesi penguburan secara komplit. Tak banyak memang, namun sudah cukup membuat hati ini ciut. Bahkan saat berita kematian diumumkan. Langsung ingat. Mak deg. Tratap! Kapan nunggu giliran. Sudah siap bekal apa belum. Apalagi kalau yang meninggal orang dekat. Tambah berat rasanya. Memandikan pernah. Mengkafani sudah juga. Menyolati sering dan turun langsung ke liang lahat beberapa kali. Namun, terlibat langsung menangani prosesi dari awal sampai akhir – mengurus jenazah – baru dua kali. Pertama, saat kakak tertua istri meninggal. Dan kedua, ketika Bapak saya meninggal beberapa minggu yang lalu.
Ada kesamaan kesan yang saya peroleh dari dua pengalaman di atas. Yaitu peran penting penjaga makam atau kuncen dengan jasa dan kiprahnya. Entah kapan mulai ada profesi ini, tak tercatat dalam sejarah. Bisa jadi setua usia umat manusia. Karena dimana ada yang mati, harus ada yang ngurusi. Kebanyakan profesi ini tak bergaji, voluntir dan seumur hidup, sehingga tak banyak peminatnya. Dan tak pernah ada pengumuman lowongannya. Dia bisa turun-temurun atau kerabat dekat yang menggantikan. Jadilah kuncen seperti harta warisan. Dengan kondisi yang seperti itulah, maka ketika ada prosesi pemakaman, seolah menjadi panggung bagi mereka. Semua harus tunduk dan patuh padanya. Kuburan menjadi wilayah pengukuhannya. Dialah pakarnya. Perintah ini dan itu. Minta ini dan itu. Dan harus dipenuhi. Jika tidak, langsung meninggi nada bicaranya. Bahkan sering pundung. Yang begini ini masih untung, kadang berakhir dengan kericuhan dengan ahli warisnya. Masya Allah. Padahal yang mati tenang dalam diam.
Mengingat kondisi pemakaman yang demikian itulah, memanggil memori saya tentang kisah menangisnya Utsman dan pesan Rasululah SAW kaitannya dengan kuburan.
وَعَن عُثْمَان رَضِي الله عَنهُ أَنه إِذَا وَقَفَ عَلَى قَبْرٍ بَكَى حَتَّى يَبُلَّ لِحْيَتَهُ فَقِيلَ لَهُ تُذْكَرُ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَا تَبْكِي وَتَبْكِي مِنْ هَذَا فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْت منْظرًا قطّ إِلَّا الْقَبْر أَفْظَعُ مِنْهُ» . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ.
Dan adalah Utsman bin ‘Affan ra. jika berdiri di sisi kuburan, beliau menangis sampai basah jenggot beliau. Maka dikatakan kepada beliau; “Engkau disebutkan surga dan neraka namun engkau tidak menangis. Tapi kenapa engkau menangisi (kuburan ini)?” Beliaupun berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; “Kuburan adalah adalah tempat persinggahan pertama akhirat. Barang siapa yang selamat darinya maka sesudahnya lebih mudah baginya. Dan barang siapa yang tidak selamat darinya, maka sesudahnya lebih dahsyat darinya.” Dan Rasulullah SAW juga bersabda: “Tidak pernah aku melihat pemandangan (yang jelek) kecuali kuburan lebih mengerikan darinya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Boro-boro akan ingat dan menangis memikirkan akhirat, ketika mau masuk kuburan langsung terbayang para tukang penjaga makam ini. Dan shodaqollahu warosuluh, situasi ini menambah serem apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW, memang kuburan adalah pemandangan yang jelek, serem dan menakutkan. Terlebih dengan penjaga makam yang sok kuasa. Harus tahan menjadi pendengar yang baik. Kalau tidak liang lahat tidak siap pada waktunya. Bisa mangkrak.
Harus sabar sepenuh hati, mendengarkan cerita-cerita yang disuguhkan. Dengan filsafat-filsafat yang menurutnya, dialah yang paling menguasai. Sedikit komentar bisa berbuntut panjang keterangan balasannya. Sebab ini hasil dari penjiwaan jadi penjaga makam sekian waktu. Gak ada orang yang mau menjaga makam. Karena harus lahir-batin, katanya. Menjiwai. Harus tanggap dengan masalah administrasi. Dan harus kuat menghadapi tingkah laku lainnya yang kurang menghargai. Utamakan rendah hati, tahan emosi dan hemat energi. Yang penting semua urusan pemakaman berjalan lancar dan kelar segera. Berbeda memang dengan sistem pemakaman modern sekelas San Diego Hill dengan biaya yang amat mahal. Pada pemakaman tradisional, penjaga dan tukang makamlah sebagai sentralnya.
Dengan kejadian ini, saya mencoba reframing dan husnudhon billah. Mengambil semua itu sebagai nasehat yang bermanfaat untuk kemajuan ubudiyah ke depan. Alangkah ruginya jika terus berkutat dengan hal-hal negatif dan tidak bergerak maju dengan hal-hal yang positif. Kebetulan penjaga makam itu ada yang muda, maka saya menyemangati diri saya dengan kalimat semacam ini; hanya karena kamu masih muda dan sehat bukan berarti kematian tidak akan datang kepadamu. Karena kematian tidak memandang usia.
Sehubungan dengan kendala pengurusan makam, saya seperti dinasehati; Kematian bukanlah bencana terbesar dalam hidup ini. Bencana terbesar dalam hidup adalah ketika ketakutan kita kepada Allah sudah mati saat kita masih hidup. Dari pembicaraannya sang penjaga makam tidak takut mati karena setiap saat ngurusi orang mati. Tetapi menurut saya malah sudah kebablasan. Sudah mati rasa takutnya kepada Allah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي المَوْتَ
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Perbanyaklah kalian mengingat kepada sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu maut.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam penentuan lokasi makam juga penuh perjudian. Beruntung Bapak saya pernah menjadi tokoh masyarakat sehingga ada sedikit penghargaan dari tukang makam. Hal ini mengingatkan saya sebuah nasehat indah; Bagi dunia, kamu mungkin adalah seorang Miliarder, Selebriti atau tokoh penting. Tapi bagi Malaikat Maut, kamu tidak lain hanyalah sebuah nama yang sudah ada dalam daftar. Apalah arti nama besar, tahta dan harta, semua tak berguna ketika memasuki liang kubur.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ
Dari Ibnu Umar bahwa dia berkata; Saya bersama dengan Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi SAW dan bertanya; “Ya Rasulullah, bagaimanakah orang mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Belajar dari tukang makam tadi, hidup memang saling-silang, penuh kebergantungan satu sama lain. Tidak pernah menyangka saya harus bertemu dengan orang-orang seperti ini. Tapi ini adalah pengalaman luar biasa. Yang membuka cakrawala baru buat saya akan kematian. Manusia memang aneh. Dia berlari ke arah dunia yang tidak dapat dia tangkap, dan melarikan diri dari kematian yang takkan pernah bisa dia hindari. Tidak ada kepastian sama sekali dalam hidup ini. Tapi kematian-lah yang benar-benar menjamin segalanya. Kematian itu keniscayaan. Tapi mengapa kita masih saja terlalu sibuk memperhatikan hidup daripada kematian?
قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Jumu’ah : 8)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ رَوَاهُ شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ
Dari Anas bin Malik ra. dia berkata; Rasulullah SAW besabda: “Anak Adam akan semakin tumbuh dewasa dan semakin besar pula bersamanya dua perkara, yaitu; cinta harta dan panjang umur.”(HR. Bukhari)
Terakhir, belajar dari tukang penjaga makam ini, mari kita terus ingat mati. Orang bilang berpikir tentang kematian adalah tanda depresi. Saya seorang Muslim, dan bagi saya, mengingat mati itu adalah sebuah inspirasi. Untuk berbuat lebih dan lebih dalam kebaikan dan ketulusan sehingga husnul khatimah.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلَاثٍ يَقُولُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
Dari Jabir Radhiyallahu Anhu berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda tiga hari sebelum beliau wafat: “Jangalah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim)
Memang benar kematian adalah nasehat. Itu sudah cukup. Bahkan nasehat yang paling dahsyat. Tukang penjaga makamnya saja sudah membuat begitu rupa pembelajaran dan peringatan. Apalagi kematiannya itu sendiri. Namun sayang, walau banyak yang percaya akan datangnya kematian, namun hanya sedikit yang bersiap. Jika belum siap, dan biar segera siap, ingatlah selalu wasiat indah ini.
عَنْ عَمَّارٍ يَعْنِي ابْنَ يَاسِرٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغْلًا
Dari Ammar yaitu bin Yasir, ia berkata; dimana Nabi SAW bersabda; “Cukuplah mati sebagai nasehat, dan cukuplah yakin sebagai keyakinan dan cukuplah ibadah sebagai kesibukan.” (HR. Baihaqi)