Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Meneruskan jejak langkah kaki, lebih dalam dan jauh dalam menghadapi corona, ada sebuah cerita menarik yang bisa dijadikan jembatan pemahaman dalam menyikapi situasi sekarang. Harapannya bisa menghilangkan awan penghalang pengertian, sehingga padang pikirannya, ringan gerak langkahnya, seiring dan sejalan. Kisah ini sering disampaikan dengan tajuk; kabar angin menciptakan kelaparan. Kok bisa? Begini ceritanya.
Dulu, tepatnya pada musim panas 1946 desas-desus tentang kelaparan melanda sebuah provinsi di negara Amerika Latin. Pada hal tanaman tumbuh dengan baik, dan cuaca pun sempurna, hanya tinggal menunggu panen raya. Tetapi karena daya desas-desus itu 20.000 petani gurem meninggalkan sawah-ladangnya dan lari ke kota-kota. Karena perbuatan mereka panen gagal, ribuan orang meninggal dan isu kelaparan terbukti jadi nyata.
Pada kesempatan ini, kembali saya mengajak untuk mencermati diri dan sekitar kita. Apakah sudah menjalankan instruksi dari Pemeintah atau pihak berwenang dengan benar? Kalau sudah alhamdulillah, jika belum segeralah mengikutinya. Mengikuti instruksi bukan berarti takut. Mengisolasi dan menjaga jarak bukannya panik. Ini semua adalah ikhtiar, jihad dari diri kita masing-masing yang akan dipertanggungjawabkan nanti di sisi Allah. Imam Bukhari dalam Kitabul Fitan dan Imam Muslim meriwayatkan hadits yang bisa jadi pegangan kita semua dalam hal ini. Bunyinya;
وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسولُ اللهِ : « إذَا أنْزَلَ اللهُ تَعَالَى بِقَومٍ عَذَاباً ، أصَابَ العَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ ، ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ » . متفق عليه
Ibnu Umar ra. mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: “Jika Allah menurunkan adzab, maka adzab itu akan mengenai siapa saja yang berada di tengah-tengah mereka, lantas mereka dibangkitkan sesuai amalan mereka.”
Hadits ini memberikan tuntunan untuk selalu berbuat baik dalam setiap keadaan. Usaha terbaik, usaha semaksimalnya. Karena perbuatan baik itulah yang akan menyelamatkan kita kelak. Walau, maaf, pada akhirnya kita jadi korban keadaan karena kondisi yang terus memburuk misalnya, tetapi niat dan amal baik kita menjadi pembeda. Dengan demikian dalil ini melengkapi hadits-hadits sebelumnya, kenapa tidak boleh lari dan kenapa tidak boleh mendekat.
Sangat disayangkan dalam hal ini jika masih ada jiwa-jiwa yang setengah-setengah dalam berusaha, atau malah ogah-ogahan bahkan tidak peduli sekalian. Firman Allah dalam Surat Al-Anfal ayat 25 rasanya perlu jadi menu berikutnya. Globalisasi semakin nyata memberikan pelajaran kepada kita bahwa apa yang terjadi di luar kita berdampak kepada kita. Dan sebalikanya apa yang kita perbuat, berakibat kepada sekitar juga. Allah berfirman;
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan takutlah kalian dari fitnah/siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
Nah, pilihan terbaik dalam keadaan seperti ini adalah selalu taat, tetap tenang, tidak panik dan terus fokus pada diri sendiri untuk terus berbuat baik dan baik, walau mungkin sekitar banyak yang mengabaikan. Barangkali perbuatan baik kita bisa menginspirasi jiwa-jiwa lainnya. Jangan terpengaruh ikutan cuek dan menyepelekan. Karena dengan berbuat baik itu, artinya kita sudah siap apapun yang akan terjadi. JIka selamat dari wabah akan keluar sebagai pemenang, jika kena wabah pun tetap menang juga. Ayo terus berbudi luhur!