Menjadi orang kaya – kajen keringan -, itulah cita-cita banyak sekali kepala orang. Hal yang sama pun pernah mendera saya. Dulu, kala masih duduk di bangku sekolah, kemudian menyaksikan sebuah rumah indah nan besar, berbaris mobil mewah di dalamnya, dan di depannya duduk sepasang suami istri lagi menikmati keindahan rumahnya. Sering saya bertanya pada diri sendiri : “Akankah saya bisa sampai di sana?” Sekian tahun setelah melewati semua itu, setelah mendalami hidup menempuh jalan Ilahi, wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi bayangan tempo dulu lagi. Walaupun saya belum pernah berkenalan dengan pengusaha yang kekayaan perusahaannya bernilai triliunan rupiah, duduk di kursi tertinggi perusahaan, menjadi penasehat orang kaya atau merasakan sendiri jadi orang kaya.
Penelusuran dan pencarian saya secara lebih mendalam pada hikayat kehidupan ini, bahkan menghasilkan sejumlah ketakutan untuk menjadi kaya. Ada orang kaya yang memiliki putera-puteri yang bermata kosong melompong sebagai tanda hidup yang kering. Kayak bola ping pong. Ada pengusaha yang menatap semua orang baru dengan tatapan curiga karena sering ditipu orang, untuk kemudian sedikit-sedikit marah dan memaki. Ada yang berganti mobil termewah dalam ukuran bulanan, namun harus meminum pil tidur kalau ingin tidur nyenyak. Ada yang memiliki anak tanpa ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut padanya.
Kaya adalah pilihan, juga ketentuan. Banyak yang ingin jadi kaya, tapi banyak juga yang gagal meraihnya. Qodarnya menyatakan tidak. Dalam tataran pencaharian seperti ini, ada kata – kata bijak yang menarik perhatian saya: “If we have too many things we don’t truly need or want, our live become overly complicated”. Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks. Inilah mungkin interpretasi bebas sabda Nabi SAW La ba’sa bil ghina. Kayalah secukupnya. Jangan berlebih. Rupanya ketakutan bertemu hidup yang amat rumit karena memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul diperlukan telah menghinggapi banyak orang. Lebih dari sekadar takut, di tingkatan materi yang amat berlebihan, ketakutan, kecemasan, dan bahkan keterikatan berlebihan mulai muncul. Uncontrollable.
Banyak cerita, bagaimana orang merasa terganggu tidurnya di hari pertama ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi. Demikian juga ketika baru duduk di kursi orang nomer satu di perusahaan. Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat banyak orang hampir jadi paranoid. Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya, kekayaan baik kedudukan maupun materi, memang menghadirkan kegembiraan (kendati hanya sesaat), namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa dan dirampas habis oleh yang kita sebut kekayaan itu.
Disamping merampok kebebasan dan keheningan, kekayaan juga menghasilkan harapan-harapan baru yang bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Nabi SAW mengingatkan, kalau anak adam punya satu jurang emas, maka dia akan mencari yang kedua, dan seterusnya sampai ajal tiba. Demikianlah kekayaan dengan amat rajin mendorong manusia untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya dengan kaidah syukur dan ibadah. Apalagi kalau harapan itu bisa mendorong orang bekerja benar dan keras, plus keikhlasan untuk bersyukur pada sang hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi, harapan ini terbang dan berlari liar. Niatnya mencari harta untuk ibadah. Menjadi kaya untuk perjuangan. Semua tinggal kenangan. Dan kemudian membuat kehidupan berlari seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.
Karena keyakinan seperti inilah, maka dalam keseharian saya senantiasa memohon agar seluruh kehidupan saya diiringi dengan keikhlasan, keikhlasan dan hanya keikhlasan. Ada yang mau menggeser dan memberhentikan, saya tidak melawan. Ada yang mengancam dengan kata-kata kasar, saya imbangi secukupnya saja. Ada yang berbuat jelek, saya maafkan. Kalau ada yang berbuta baik, saya syukuri. Ada sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu sederhana dan jauh dari kerumitan. Namun saya meyakini, dengan cara ini kita bisa jadi kaya, dengan jalan sederhana. Secukupnya, tak berlebih. Kaya yang barokah, dengan berpaling ke dunia seperlunya saja. Sak madya. Dari Abu Abdirrahman al-Hubuli, dia mengatakan, aku pernah mendengar Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan dia ditanya oleh seseorang, orang itu mengatakan, “Bukankah aku termasuk salah satu fakir Muhajirin?” Abdullah balik menanyainya, “Apakah kamu mempunyai seorang istri tempat engkau kembali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki rumah yang bisa engkau tinggali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah lalu mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk orang kaya.” Orang itu berkata lagi, “Sesungguhnya aku memiliki seorang pembantu.” Abdullah mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk raja.” (Rowahu Muslim – hadits mauquf).
Oleh :Faizunal Abdillah