Ukuran kebahagian seseorang itu bisa dilihat dari tingkat kesyukurannya. Semakin tinggi mentalitas kesyukuran seseorang, menunjukkan semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya. Hidup penuh kesyukuran itulah hidup yang penuh kebahagiaan. Seperti cerita silat yang nggak ada matinya; kembang jadi buah dan buah jadi kembang. Selalu menang dan menang dalam menghadapi segala situasi apapun. Bukan lagi berada pada aras dalil – Lain syakartum la aziidannakum, tetapi sudah lebih jauh lagi. Maksudnya tidak lagi berpandangan kalau syukur akan nikmat itu akan ditambah, akan tetapi memahami lagi bahwa kesyukuran itu sendiri adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya sebagai bentuk ibadah. Akhirnya, hidup ini kewalahan syukur, sehingga hampir – hampir terucap: afalam akunu abdan syakuron.
Mungkin sudah lama dan sering kita mendengar dalil masalah syukur; Lain syakartum la aziidannakum. Banyak yang hafal, banyak yang berucap. Gampang, tapi susah. Susah menemukan pemahaman dan penghayatan agar benar – benar nyanthol di hati. Meresap dan bisa menjelma menjadi abdan syakuron – derajat tertinggi dalam hal syukur ini, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang kontinyu sholat malam sampai kaki bengkak dan pecah – pecah. Namun sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita ikuti barisan anak tangga selangkah demi selangkah. Tidak perlu terburu – buru. Sebab untuk menjadi ahli syukur perlu waktu dan usaha yang kontinyu agar tidak mati layu.
Kesyukuran tidak bisa dibuat – buat. Dia haruslah berasal dari hati terdalam dengan mengikutkan seluruh indera kita dalam satu waktu, satu kesempatan. Terganggu sedikit proses tersebut, akan hilang totalitas kita dalam bersyukur. Oleh karenanya perlu banyak berlatih, disiplin dan penuh penghayatan. Yang penting lagi kesadaran kita akan situasi yang kita jumpai, seperti cerita tokoh kita Nasrudin berikut ini.
Setelah lama bepergian jauh, Nasrudin tiba kembali di rumahnya. Istri tercintanya menyambut dengan gembira. Lalu dihidangkanlah keju untuknya.
“Aku punya sepotong keju untukmu,” kata istrinya.
“Alhamdulillah,” puji Nasrudin, “Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut.”
Tidak lama kemudian Nasrudin kembali pergi beberapa waktu lamanya untuk keperluan yang lain. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga. Namun kali ini tidak ada keju yang dihidangkan. Teringat akan memori yang dulu, dia pun bertanya, “Adakah keju untukku?”
“Tidak ada lagi,” kata istrinya.
“Ahamdulillah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi”, kata Nasrudin.
“Jadi mana yang benar ?” kata istri Nasrudin bertanya-tanya, “Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?”
“Itu tergantung,” sambut Nasrudin, “Tergantung apakah kejunya ada atau tidak dan bagaimana kita mensyukuri setiap keadaan yang kita jumpai.”
Kisah ini semoga bisa menjadikan inspirasi buat kita untuk memiliki mentalitas syukur yang pol. Aras syukur yang tinggi. Paradigma syukur dan kesadaran syukur setiap waktu. Apapun keadaan yang kita jumpai. Jika hal ini bisa kita miliki, seperti apa yang dikatakan Rendra dalam Makna Sebuah Titipan – maka kita pun akan faham bahwa;“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”.
Alangkah indahnya hidup ini.
Oleh : Faizunal Abdillah