Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati lingkungan – Warga LDII Kabupaten Tangerang
Kalau ada yang bertanya bagaimana mengukur spiritualitas kita? Jawabnya cukup dengan dua sabda indah berikut ini. Pertama,
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ قَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا الْحَجُّ الْمَبْرُورُ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ * رواه أحمد
Telah bercerita kepada kami Abdusshamad telah bercerita kepada kami Muhammad bin Tsabit telah bercerita kepada kami Muhammad bin Al Munakdir dari Jabir berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Haji mabrur, tidak ada balasan baginya melainkan hanya surga”, Mereka bertanya, “Wahai Nabiyulloh apa itu haji yang mabrur?” (Rasulullah ﷺ) bersabda, “Memberikan makanan dan menyebarkan salam”. (Rowahu Ahmad Fil Musnad).
Kedua,
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا بِرُّ الْحَجِّ ؟ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطَيِّبُ الْكَلاَمِ * رواه الحاكم في المستدرك
Dari Jabir r.a., dia berkata; “Rasulullah ﷺ ditanya tentang haji mabrur, kemudian beliau bersabda, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ (Rowahu Al-Hakim Fil Mustadrak)
Dengan dasar ini, bisa ditarik benang merah, bahwa kemajuan spiritual dibuktikan dengan tindakan indah keseharian.
Tidak sedikit, pribadi yang mengeluh tentang praktek spiritualnya. Membaca dan menyimak (mengaji) sudah banyak, mendengarkan nasehat lebih banyak lagi, bergaul dengan orang baik tak terhitung, tapi begitu menyangkut hidup keseharain tidak ada perubahan banyak. Bahkan sudah berkali-kali menginjakkan kaki ke tanah suci para nabi pun serupa. Kebanyakan jalan di tempat. Seorang guru kerap menjawab fenomena ini dengan fatwa bijak sederhana; ilmu adalah salah satu bibir sungai yang dalam, keseharian adalah bibir sungai di seberang. Dan jembatan yang menghubungkan keduanya bernama muamalah (ritual ibadah keseharian).
Dan muamalah, meminjam pengalaman banyak guru suci, tidak hanya olah gerak, ucapan dan doa-doa semata yang banyak, melainkan mengolah, membiasakan, menguatkan dan meluaskan ruang batin. Memang butuh waktu lama dan ketekunan yang luar biasa untuk membiasakan manajemen batin ini. Seorang guru pernah berpesan; walau belum merasakan keindahan batin, teruslah kerjakan. Hanya masalah waktu pencerahan akan tiba. Pada saatnya, kesabaran menuntun ke jalan yang benar. Jadi, sesulit apa pun perjalanan panjang harus dilakukan bila menginginkan pertumbuhan spiritual.
Ada banyak sekali pendekatan, teknik, cara yang tersedia dalam muamalah ini dan umumnya bermuara pada pendekatan kebajikan. Karena kebajikan adalah fondasi, tembok sekaligus atap tempat suci di dalam diri. Bisa lewat sholat, sedekah, puasa, atau jalur yang tepat sesuai dengan tingkat pertumbuhan masing-masing. Fokusnya menemukan bibit-bibit kebajikan yang ada, menyiraminya, menumbuhkan dan memeliharanya. Puncaknya berbagi cahaya kabajikan ke lingkungan dalam keseharian.
Dalam totalitas, hidup kita berdiri di atas tumpukan kebajikan yang tidak berhingga, mulai dari rembesan cinta ayah dan ibu, hangatnya sinar surya, sejuknya oksigen di jalan nafas, lenturnya air di sekujur tubuh serta persediaan yang melimpah dari perut bumi. Dalam bahasa jiwa, kebajikan itulah bibit kita yang sesungguhnya. Dan dari sini kita jadi mafhum, kenapa inti ajaran spiritual adalah mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Karena kebajikan, itulah Ibu spiritual kita yang sesungguhnya.
Sejuk, lembut, indah demikianlah perasaan di dalam ketika manusia sering menyirami bibit-bibit kebajikan yang ada di dalam diri. Dan bagi siapa saja yang sudah menyirami bibit-bibit kebajikannya, ada tugas berikutnya yang menunggu yakni berbagi. Yang paling baik yang bisa dilakukan adalah banyak membantu, bila tidak bisa membantu setidak-tidaknya jangan menyakiti. Inilah langkah-langkah konkrit menyirami bibit-bibit kebajikan yang ada di dalam diri.
Berbagi kebajikan tidak harus dilakukan dengan cara yang hebat dan besar. Memungut sampah yang dibuang sembarangan, mematikan kran air atau lampu yang lupa dimatikan, itu tindakan yang meyakinkan. Menjaga kebersihan lingkungan, menyayangi anak-anak, suami, istri, menghormati tetangga adalah pupuk yang menyuburkan. Sesedikit mungkin menggunakan tas plastik (karena meracuni lingkungan), tidak boros dalam menggunakan air, melepas burung dan ikan, hanyalah contoh tentang berbagi kebajikan yang ikut membuat diri kita jadi bajik kemudian. Dan masih banyak lagi pilihan lain yang tersedia.
Nah, bagaimana jika menemui orang yang sudah sabar, tekun, ikhlas dan bersungguh-sungguh tetapi masih belum juga mendapatkan pencerahan batin? Mungkin pesan Jalaludin Rumi berikut ini bisa membantu.
“Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu,
Jalaludin Rumi
sambil terus-menerus mengetuk pintu rumah-Mu.
Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari,
sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri.”
Bisa jadi kita termasuk ahlinya Allah, di dalam lingkaran orang-orang yang dicintaiNya, diberi pencerahan batin, hanya mungkin tidak diberi keutamaan yang tampak oleh yang lain. Yang dibutuhkan sekarang hanya kebesaran hati dalam menerima keadaan ini dan terus menari dalam indahnya kebajikan ini, dalam bermuamalah dengan akhlaqul karimah.