Jakarta (6/4). Memiliki prinsip harus bermanfaat bagi banyak orang, warga LDII asal Palu, Sulawesi Tengah, Qonita Kurnia Anjani. Qonita yang saat ini tinggal di Belfast, Irlandia Utara itu mendapat kesempatan bergabung sebagai Research Fellow di Pharmaceutical Technology, Queen’s University Belfast, berkat penelitian microneedles saat masih Strata-1 (S1) di Universitas Hasanuddin.
Qonita menjelaskan penelitian yang dilakukan, bukan sekedar untuk memenuhi rasa penasaran, tetapi juga untuk menjawab keresahan yang dialami secara pribadi. Ia menjelaskan, sejak S1 sudah tertarik dengan penelitian penghantaran obat melalui kulit. Namun, sekitar 2015 Indonesia belum ada laboratorium yang mengembangkan teknologi tersebut.
“Selain itu, karena melihat dari keluarga, yaitu Ibu saya yang takut menelan obat tablet, sehingga tablet-tablet harus digerus terlebih dahulu. Padahal tidak semua obat itu bisa digerus karena biasanya ada obat yang harus diminum utuh agar lebih efektif,” cerita Qonita saat diwawancara secara daring, pada Minggu (23/2).
Kejadian tersebut juga menjadikan Qonita konsisten dengan penelitian menghantarkan obat melalui kulit. “Microneedlesbisa menghantarkan obat apapun, caranya seperti menempelkan patch atau koyo ke kulit. Sebab needles atau jarum yang ada di microneedles tidak panjang sehingga tidak menyentuh sistem saraf di kulit, makanya kalau diraba, permukaan microneedles teksturnya seperti lidah kucing,” imbuh Qonita.
Peneliti sekaligus dosen di salah satu universitas swasta di Makassar ini, juga menjelaskan jika prinsip kerja dari microneedles bergantung pada jenis dan material pembentuknya. “Bagian bawah lapisan kulit ada namanya lapisan interstital fluid atau cairan yang ada di sekitar sel-sel kulit. Saat microneedles ditempel pada kulit maka ujung jarumnya akan menyentuh bagian lapisan tersebut,” paparnya.
Namun microneedles tidak akan sampai ke bagian saraf dan pembuluh darah, sebab ukurannya yang micro, sehingga tidak terasa sakit atau berdarah ketika digunakan. Adapun jenisnya beragam, seperti dissolving microneedles, hydrogel, solid, hollow, dan sebagainya dan ini memiliki prinsip kerja yang berbeda,” kata Qonita.
Qonita yang juga tergabung dalam komunitas Islam, Indonesia Muslim Association of Da’wah mengungkapkan proses yang ia lalui untuk bisa mendapat gelar PhD tidaklah mudah, banyak tahapan yang harus ia lalui. Bahkan dalam proses tersebut mengalami kendala dikarenakan Covid-19 yang memaksa laboratorium dan kampus tutup selama enam bulan.
“Microneedles ini menarik untuk diteliti dan kemudian, email saya disambut baik oleh salah satu professor, makanya saya berani untuk lanjut merantau jauh sampai ke Irlandia. Memulai dengan melengkapi berkas-berkas administrasi, mencari supervisor dan sponsor, serta yang paling membuat gugup saat melakukan tes ujian diferensiasi yang merupakan syarat wajib bagi semua mahasiswa PhD di tahun pertama untuk menentukan kita bisa lanjut atau tidak,” jelas Qonita.

Lebih lanjut, Qonita berharap agar penelitian microneedles dapat segera dikembangkan dan digunakan secara komersial bagi yang membutuhkan. Bisa mempermudah ketika anak-anak hendak divaksin, para orangtua cukup memberikan microneedles dengan cara ditempelkan ke kulit anaknya di rumah. Tidak perlu ke posyandu, puskesmas, atau rumah sakit lagi.
“Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan hampir semua obat bisa dihantarkan melalui kulit dengan teknologi ini, sehingga dosis obat bisa disesuaikan dengan ukuran microneedles yang ditempelkan pada kulit. Selain itu, melakukan penelitian untuk inovasi pengobatan yang lebih mudah dan praktis untuk masyarakat selalu menjadi semangat berjuang saya agar bisa terus mendapatkan pahala jariyah,” harap Qonita.
Meskipun kini Qonita berhasil meraih impiannya dengan waktu yang singkat, selama dua tahun lima bulan, namun terkadang ia masih mengalami homesick. “Alhamdulillah, awal-awal datang ke Belfast cukup baik dan lancar. Apalagi saya tergabung dengan komunitas Islam Indonesia Muslim Association of Da’wah, jadi seperti melepas rasa rindu dengan keluarga di Indonesia saat berkumpul seperti pulang ke rumah sendiri,” kata Qonita.
Semua pengalaman yang Qonita rasakan ini, tidak lepas dari dorongan orangtuanya yang selalu berpesan agar keputusan yang diambil dapat bermanfaat untuk diri sendiri dan orang sekitar. Hal tersebut juga ia sampaikan untuk generasi muda di luar sana saat menentukan atau hendak meraih impiannya.
“Memilih jalan sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki serta harus bermanfaat juga untuk urusan agama. Selain itu, apapun yang dilakukan harus tulus niat karena mencari rida Allah SWT, mengangkat derajat orangtua, sehingga kita akan mendapat double point, dunia dan agama jadi seimbang. Selalu minta pertolongan dan berdoa kepada Allah SWT agar apa yang diusahakan diberikan jalan,” tutup Qonita. (Eva).
Semoga dengan bergabung di komunitas Islam Indonesia , *Muslim Association of Da’wah* di luar negeri Generus LDII bisa terus berkembang untuk meraih kesuksesan yang diperlukan oleh masyarakat luas untuk keharuman nama baik bangsa dan negara Indonesia di dunia internasional
Amazing, semoga Alloh SWT paring barokah
Semoga ilmunya bermanfaat, menyongsong Indonesia Emas 2045 dan sukses selalu..
semoga diberikan kelancaran dan barokah, aamiin
Lancar barokah .
Sebaik baik manusia adalah yg. Bermanfaat bagi yg lain
Semoga sukses dunia dan akhirat Mba Qonita 👍👍👍👍👍
Sangat menginspirasi dan membanggakan…semoga Allah paring aman, selamat, lancar dan barokah. Aamiin…
Salam dari walibarokah residence, tambun, bekasi, jabar.
semoga sukses lancar barokah
Lancar barokah
Good job, barokalloh
Salut n bangga , Alhamdulillah , mdh2an sukses aselabar Aamiiin
Wow, cool. It’s your great achievement Qonita. (Perestasi keren Qonita) Alhamdulillah.
MasyaAlloh
Alhamdulillah, semoga bermanfaat bagi semua umat manusia
Alhamdulillah
Barokah