Oleh: Prof. DR. H. Singgih Tri Sulistyono M.Hum.
Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro.
Ketua DPW LDII Jawa Tengah.
Artikel ini berangkat dari pernyataan kecil dan remeh namun sesungguhnya memiliki muatan yang sangat mendasar yang seringkali dilontarkan oleh sebagian kalangan generasi muda tentang tidak pentingnya lagi nasionalisme, negara-bangsa (nation-state), dan integrasi nasional Indonesia. Barangkali pernyataan seperti itu merupakan refleksi dari suasana berpikir generasi muda yang tenggelam dalam euforia globalisasi.
Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengaburkan batas-batas negara, politik, ekonomi, dan budaya. Hubungan internasional bukan hanya terbatas pada hubungan government to government (atau antarbangsa) secara formal, namun juga sudah mencakup antarkomunitas dan bahkan juga mencakup interelasi antarkomunitas atau pun antar individu secara face to face. Kemudahan interaksi global telah membangkitkan kesan bahwa keberadaan negara hanya dirasakan sebagai barrier atau handycap dalam berbagai hal baik dalam ekonomi, sosial-budaya, kebebasan, hubungan internasional, dan sebagainya.
Generasi muda membayangkan jika tidak ada negara, maka akan lebih leluasa untuk mengekspresikan dirinya. Dalam konteks inilah barangkali sebagian generasi muda berpendapat bahwa negarabangsa dan integrasi nasional tidak diperlukan lagi. Apa yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah nasionalisme, negara-bangsa, dan integrasi nasional Indonesia tidak diperlukan lagi?
Slogan “berakhirnya negara bangsa” sempat memengaruhi cara berpikir para pemuda yang melihat globalisasi dengan segala macam kemudahan, kesenangan, dan kegemerlapannya sebagai sesuatu yang tampaknya sangat indah di mata pemuda. Sementara itu, negara sering kali hanya dipandang sebagai penghalang kebebasan dan hanya menarik pajak yang peruntukannya sering kali dipandang tidak jelas. Dengan demikian, sering kali kelompok ‘pemuda modern’ semacam ini terhanyut dalam provokasi teori dari ilmuwan politik dan ekonom politik AS, Francis Fukuyama mengenai ‘berakhirnya negara-bangsa’ yang menempatkan negara-bangsa dan nasionalisme tidak penting lagi di masa kini dan mendatang.
Dalam beberapa hal Fukuyama memang benar. Namun demikian, perkembangan pasca Perang Dingin justru menunjukkan gejala lain. Memang komunisme sudah mati. Meskipun negara Republik Rakyat Cina (RRC) masih dijalankan oleh Partai Komunis, namun ini hanyalah sebuah kulit yang aneh, yang berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Karl Marx.
Di Barat, ideologi pasar bebas mencapai kemenangan yang menyusul Perang Dingin telah terbukti menjadi sesuatu yang aneh juga, karena bank-bank telah meminta campur tangan negara ketika menghadapi masalah. Hal semacam itu juga pernah menjadi kasus di Indonesia, seperti kasus Bank Century. Pasar bebas sering kali memiliki dampak destruktif yang pada akhirnya negara yang turun tangan untuk memperbaiki. Negara Inggris yang merupakan salah satu dedengkot globalisasi, pasar bebas, dan demokrasi masih saja tetap memerangi Gerakan Irlandia Utara dan mempertahankan integrasi nasional mereka. Dengan demikian dunia yang bebas ideologi yang diprediksikan oleh Fukuyama juga belum sepenuhnya berjalan. Semangat nasionalisme dan berbagai bentuk fanatisme masih terus berkembang menyusul berakhirnya perang ideologi selama periode Perang Dingin. Bisa dilihat chauvinisme Cina makin tampak dan diaspora yang mereka lakukan semakin menjadi gerakan yang sistematis.
Di berbagai nagara, bukan hanya negara-negara bekas jajahan, muncul juga gerakan separatis dan keinginan untuk menjadi negara merdeka yang lepas dari ikatan sebelumnya. Demikian juga Gerakan-gerakan mini-nationalisms-ethnic, gerakan keagamaan dan sebagainya telah muncul dan berhadap-hadapan dengan kekuatan negarabangsa yang represif (Henley, 1996). Bahkan perkembangan mutakhir yang menimbulkan sinisme muncul dari Amerika Serikat sendiri yang dipandang sebagai dedengkot globalisasi dan liberalisme.
Presiden ke-45 Donald John Trump dalam pidato politik perdana sebagai kepala negara dan pemerintahannya pada 20 Januari 2017 menekankan kebijakan yang bersifat protektif dan mendahulukan kepentingan nasional AS. Dalam pidatonya tersebut, Trump menerapkan perlindungan terhadap ekonomi AS. Kebijakan Trump tersebut bertentangan dengan kebijakan AS yang selalu meneriakkan slogan globalisasi dan pasar bebas. Setelah eksperimen AS sejak Perang Dunia II tersebut mengalami tantangan yang berat, mereka mulai memproteksi kepentingan nasional mereka demi kepentingan kemakmuran bangsa, negara, maupun kuutuhan entitas mereka (integrasi nasional).
Dengan demikian, tampak jelas bahwa meskipun mereka meneriakkan globalisasi namun pada kenyataannya kepentingan nasional masih tetap didahulukan, bahkan kelihatan dengan jelas bahwa slogan globalisasi digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan dominasi. Demikian juga slogan pasar bebas sering kali digunakan untuk melakukan sanksi dan embargo kepada negaranegara yang mengambil sikap yang bertentangan dengan negara-negara kapitalis. Oleh sebab itu, pemikiran dan sikap untuk mengebiri dan mendistorsi eksistensi negara-bangsa Indonesia hanya karena latah globalisasi dan pasar bebas merupakan sesuatu yang menyesatkan.
Lingkungan Internal
Pentingnya semangat nasionalisme, eksistensi negara-bangsa, dan integrasi nasional dapat juga dilihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia dan beberapa negara dunia ketiga yang merupakan bekas negara-negara jajahan. Banyak negara telah dilanda perang saudara yang menyebabkan disintegrasi negara dan bangsa karena mereka tidak mampu lagi memupuk dan mempertahankan integrasi nasional mereka, seperti Yugoslavia, Pakistan, Libanon, bahkan negara perserikatan adidaya seperti Uni-Soviet juga mengalami kehancuran. Utamanya negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia yang batas-batas wilayah negara disesuaikan dengan batas-batas wilayah yang dipaksakan begitu saja oleh negara kolonial, yang mewariskannya tanpa kompromi terlebih dahulu dengan penduduk setempat, maka pemupukan integrasi nasional menjadi amat penting.
Selain itu, pemerintah nasional yang baru merdeka itu tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengatur daerah-daerah yang dikuasainya sesuai dengan kehendak kelompok-kelompok etnik yang berbeda-beda. Dalam konteks itulah maka integrasi nasional dirasakan menjadi sesuatu yang sangat urgen. Apalagi jika negara-bangsa yang baru merdeka itu merupakan negara yang luas dan memiliki keanekaragaman potensi wilayah, ras, etnik, dan latar belakang budaya, maka integrasi nasional merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal seperti inilah yang dihadapi oleh Indonesia (Harvey, 1990; Leirissa, 1991; Syamsudin, 1985).
Dalam konteks tertentu, keutuhan bangsa Indonesia dan NKRI banyak bergantung kepada hubungan antara pusat dan daerah atau pun antara lokal dan nasional. Seperti diketahui bahwa meskipun negara Indonesia telah berdiri lebih dari tujuh dekade sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, namun sebetulnya formasi dari apa yang disebut sebagai bangsa dan komunitas Indonesia masih terus dalam proses. Artinya, ‘proses menjadi Indonesia’ dalam konteks sosio-kultural masih terus berlangsung dan sulit diprediksikan kapan proses itu berakhir.
Ben Anderson memformulasikan proses formasi komunitas dan bangsa Indonesia itu dengan konsep yang menarik, yaitu imagined community dan bahkan imagined nation (Anderson, 1983). Dengan demikian, apa yang disebut sebagai komunitas dan bangsa Indonesia merupakan sebuah masyarakat dan bangsa yang dibayangkan atau mungkin dicita-citakan yang berbeda dengan komunitas dan bangsa secara realitas. Tentu sebuah cita-cita memerlukan proses untuk mencapainya.
Pencapaian sebuah cita-cita dan tujuan akan memberikan dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Jika berhasil, hal itu berarti ada sinkronisasi antara negara Republik Indonesia (RI) sebagai wadah dan komunitas atau pun bangsa sebagai isi. Sebaliknya, jika proses itu mengalami kegagalan maka proses pembentukan komunitas dan bangsa Indonesia itu tidak seiring dengan proses pembentukan negara RI yang pada gilirannya akan menyebabkan runtuhnya negara RI atau setidaktidaknya apa yang disebut sebagai negara RI tidak sama dengan seperti ketika pertama kali berdiri tahun 1945, misalnya jika Papua, Aceh, Kalimantan memisahkan diri dari negara RI. Proses menjadi komunitas dan bangsa Indonesia (process to become Indonesian community and nation) terkait erat dengan tumbuhnya rasa keindonesiaan atau rasa menjadi bagian yang inheren dari bangsa Indonesia dan bahkan ini juga terkait erat dengan rasa memiliki (sense of belonging) di setiap anggota komunitas bangsa Indonesia.
Rasa memiliki (Jawa: handarbeni) terkait dengan perasaan mencintai (Jawa: hanresnani) dan kerelaan untuk memepertahankannya (Jawa: hangrungkebi) dari segala macam tantangan yang dipandang destruktif yang akan menghancurkannya. Munculnya gerakan untuk memisahkan diri dari negara RI, apa pun alasannya, barangkali merupakan sebuah refleksi bagaimana ‘sense of Indonesianess’ masih di dalam persoalan yang serius. Apa yang selama ini menjadi persoalan adalah bahwa fenomena resistensi daerah dan gerakan separatisme di berbagai daerah seringkali hanya dilihat dari perspektif ‘pusat’ yang dalam hal ini adalah pemerintah RI di Jakarta.
Setiap bentuk resistensi dan separatisme dipandang sebagai manifestasi sikap tidak loyal dan pengingkaran terhadap ‘konsensus luhur’ dari para founding fathers yang telah merintis berdirinya negara RI. Logika kekuasaan pemerintah pusat sering kali didasari atas premis bahwa pemadaman terhadap setiap resistensi dan separatisme daerah merupakan sebuah misi untuk menegakkan ‘konsensus luhur’ menegakkan negara RI. Jadi setiap tindakan represif pemerintah pusat mendapatkan justifikasi dari premis berpikir seperti itu. Dalam melakukan represi, hampir tidak pernah terdengar bahwa pemerintah pusat melakukan mawas diri untuk menjawab pertanyaan mengapa resistensi dan gerakan separatisme itu terjadi. Jadi memang sudah waktunya pemerintah pusat harus konsen terhadap kemajuan daerah-daerah secara berimbang.
Disintegrasi nasional tentu saja bukan hanya selalu terkait dengan gerakan politik yang berupa separatisme. Pada awal reformasi, berbagai persoalan juga muncul terkait dengan gejala-gejala keretakan rasa keindonesiaan sebagai hasil dari konsensus kebangsaan yang telah dilakukan oleh para founding fathers. Hal itu bisa dilihat dari wacana kebudayaan nasional Indonesia yang hampir tidak pernah disinggung, sebaliknya wacana kebudayaan lokal dan etnis terus berkembang (Sulistiyono, 2009). Di beberapa daerah, revitalisasi budaya lokal dan etnik tampak sebagai upaya antitesis terhadap proses dominasi kebudayaan nasional yang didorong oleh pemerintah pusat. Mereka mulai khawatir akan kehilangan identitas lokal dan/ atau etnik, sehingga reformasi dan otonomi daerah dimanfaatkan sebagai momentum untuk merevivalisasi budaya lokal dan/etnik.
Memang hal itu tidak menjadi masalah dan bahkan sebaliknya akan memperkaya kebudayaan Indonesia. Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah adanya upaya untuk mengembangkan budaya lokal sebagai bagian dari upaya politis untuk melepaskan diri dari bingkai NKRI. Proses tersebut di atas dengan cepat ditunjukkan oleh berbagai kejadian yang dengan jelas mencerminkan adanya peningkatan eskalasi fanatisme etnisitas dan kelompok yang ditunjukkan dengan terjadinya konflik-konflik yang bernuansa suku bangsa, agama, ras, dan antarkelompok.
Persoalan itu semakin bertambah rumit sejalan dengan berkembangnya semangat ‘putra daerah’ yang sering kali dijadikan kedok sebagai media untuk mengakses kekuasaan politik dan keuntungan ekonomi tanpa banyak mempertimbangkan ekses-ekses berkembangnya semangat kedaerahan dan primordialisme yang mengancam proses integrasi nasional. Paling tidak ada dua kemungkinan untuk menangani kondisi tersebut di atas: pertama, dibiarkan secara alamiah yang memungkinkan tumbuh kembangnya kesetiaan primordial kesukuan di atas rasa kebangsaan karena kesetiaan terhadap suku bangsa merupakan sesuatu yang lebih alamiah jika dibandingkan dengan kesetiaan terhadap bangsa mengingat bahwa entitas negara-bangsa yang plural merupakan hasil sebuah rekayasa (Birch, 2009).
Kedua, perlu adanya policy yang memungkinkan campur tangan negara yang bisa juga melibatkan pejabat-pejabat negara dan tokoh-tokoh masyarakat untuk ikut menentukan arah perjalanan kebudayaan bangsa di masa yang akan datang. Policy ini sering kali disamakan dengan startegi kebudayaan atau mungkin bisa disebut sebagai rekayasa kebudayaan atau cultural engineering. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa apa yang disebut sebagai kebudayaan nasional bagi Indonesia sesungguhnya masih merupakan ‘imagined culture’ atau sebuah bentuk kebudayaan yang dicita-citakan. Hal ini akan memperkuat integrasi negara-bangsa. Dalam konteks itulah maka sesungguhnya semangat nasionalisme, eksistensi negara-bangsa, dan proses integrasi nasional masih sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini dan mungkin juga di masa mendatang.
Dengan melihat kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik yang bersumber dari ekspansi kekuatan eksernal maupun dinamika internal masyarakat Indonesia, maka sesungguhnya semangat nasionalisme, keberadaan negara-bangsa Indonesia, dan pemupukan integrasi nasional masih sangat dibutuhkan oleh segenap rakyat Indonesia. Negara-negara bekas kolonialis yang setelah Perang Dunia II yang meneriakkan dengan nyaring globalisasi melakukan eksperimen untuk pasar bebas jika menghadapi persoalan tetap kembali kepada otoritas negara.
Negara akhirnya menjadi semacam tumbal yang digunakan untuk membayar kebobrokan yang diakibatkan oleh apa yang diyakini sebagai pasar bebas. Mungkin pasar tidak akan pernah bisa melindungi warga negara, rakyat, yang kelaparan dan tidak beruntung. Di sinilah negara yang semestinya harus diberdayakan untuk ‘melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa’ sebagaimana cita-cita dan konsensus luhur para founding fathers. Kenapa kita sekarang lebih mendewakan pasar bebas daripada membangun negara ini menjadi lebih baik?
*Prof. DR. H. Singgih Tri Sulistyono M.Hum, Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro, juga adalah Ketua DPW LDII Jawa Tengah. Opini ini merupakan ringkasan dari tulisannya yang dimuat dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3 , No. 1, 2018, hlm. 3-12 berjudul: Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indoensia: Masih Perlukah? https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/17912/pdf.