Suatu hari menjelang sore, Ustad Aceng Karimullah nasehat di taman. Ia bernasehat tentang bagaimana seharusnya laki-laki yang sudah menikah berbakti pada orang tua. Aku yang masih single kut mendengarkan.
Ustad H. Aceng berkata, “Kalau kita merujuk firman Allah surat Bani Isroil ayat 23, disitu difirmankan kalau Allah membuat peraturan dan membuat ketetapan. Pertama agar kita menyembah Allah tanpa kita mempersekutukannya, semata-mata tanpa unsur-unsur sirik dan menaati peraturannya. Kedua, berbuat baik kepada kedua orangtua kita, setelah menyembah kepada Allah tanpa syirik.”
Penjelasan selanjutnya, jika dilihat dari resiko, manusia akan mendapatkan dosa yang besar, dosa yang paling besar diantara dosa-dosa yang besar yang pertama adalah dosa mempersekutukan Allah, dan yang kedua adalah durhaka terhadap kedua orang tua.
Aku yang sedang mendengarkan pun bertanya-tanya dalam hati, ”Kok bisa dosa besar kedua itu durhaka kepada orang tua? Ah, lagipula nasehatnya belum selesai, tidak sopan kalau langsung dipotong.” Lantas lanjut mendengarkan.
Ustad yang sudah beruban namun masih tampak bugar itu kemudian dengan tegas bilang, ”Masa kita berani kepada kedua orang tua kita yang sudah membimbing sampai kita besar? Sebagai orang Islam kita harus memperhatikan betul diri kita, agar tidak menjadi anak yang durhaka dan menyakiti orang tua.”
Bagaimana tidak, resiko orang yang menyekutukan Allah atau syirik bisa dikatakan, orang yang mati dalam keadaan syirik tidak akan mendapat pengampunan. Sementara, dosa selain syirik masih ada kemungkinan untuk mendapat pengampunan.
“Demikian dosa besar yang kedua adalah durhaka terhadap kedua orang tua, biasanya azabnya dari Allah tidak ditangguhkan di akhirot. Anak yang durhaka oleh Allah sudah pasti diazab,” ujarnya menambahkah. Terlintas rasa ngeri dalam benakku rupanya setelah mendengar penjelasan sang ustad.
Kelihatannya sederhana saja. Kapan kita pernah menyadari ketika kita bicara keras kepada orang tua, disuruh membeli cabe ke pasar dengan malas, dan segudang alasan lain yang kesannya menyepelekan.
“Pak ustad, aku yang masih single begini terkadang ada kurangnya. Tapi sebisa mungkin tetap berusaha untuk berbakti pada orang tua. Tapi bagaimana dengan lelaki yang sudah menikah?” aku bertanya padanya.
“Mas, jadi intinya simple aja. Istri harus memberikan kesempatan untuk bisa berbakti pada ibunya selagi masih hidup sampai suaminya durhaka kepada ibu karena dia lebih mementingkan istrinya dibandingkan ibunya,” ujarnya.
Begitulah. Rupanya ketika menikah pun kewajiban kita berbakti pada orang tua tidak putus. Mungkin cuma beda atap saja, hehehe.
“Ustad, sayang banget nggak sih, misalkan dia ahli ibadah tapi hanya karena dia tidak berbakti pada ibunya malah jadi tergolong orang yang durhaka,” aku kembali bertanya.
“Sekali lagi bagi para istri, doronglah suami kalian supaya bisa berbakti kepada ibunya. Beri kesempatan untuk berbuat baik kepada ibunya. Karena ibu adalah prioritas yang pertama, yang kedua adalah ibu, yang ketiga juga ibu, dan yang keempat juga bapak,” Pak Aceng memberi penjelasan.
Oke, mudah-mudahan Allah memberi kekuatan lahir batin kepada kita, sehingga kita bisa menjadi orang yang sholeh, amin.(antho/lines)