(Tulisan yang diperuntukkan untuk instropeksi bagi penulis dan pembaca)
Sembilan bulan yang lalu, ketika lebaran saya menyempatkan silaturahim ke kampung halaman saya. Pertanyaan yang sering muncul pertama kali “Sekarang kerja apa? Dimana?” dan jawaban saya selalu sama “masih pengangguran hehehehe.” Ada suatu momen ketika keluarga besar berkumpul mulai dari nenek, om, tante hingga keponakan dan saya bisa menjamin pasti pertanyaan seperti itu muncul, bahkan lebih detil.
Ketika ada kesempatan diskusi, ada salah satu om yang menanyakan dengan nada yang menurut saya agak sinis.
“Ohh.. Taiwan, sedikit ya orang Islamnya?”
“Di sana kebanyakan Kristen ya?”
Sebelum sempat menjawab dia sudah menimpali lagi.
“Gimana kehidupan di sana?”
Merasa dia tidak butuh jawaban, saya hanya diam dan pura pura mendengarkan. “Pasti ga enak, sedikit orang Islam di sana,” “Makannya gimana? Solatnya gimana? Masih bisa ngaji?” dan sebagainya. Pertanyaan wajib, namun saya hanya menjelaskan kondisi detil saya di sini kepada orang tua saya.
Saya hanya bergumam “Hmm.” Melihat saya sudah malas menjawab, ayah saya menimpali.
“Aman, hahaha. Kebanyakan orang atheis (tidak beragama) tapi tertib semua, ga seperti di Indonesia orangnya beragama tapi banyak yang ga tertib.”
Seperti itulah. Menggaris bawahi pernyataan ayah saya yang langsung membuat om saya diam, sadar atau tidak itulah kondisi yang ada di Indonesia saat ini. Contoh kecilnya, di negeri sendiri saling menipu untuk mendapatkan untung lebih besar adalah hal yang biasa. Mereka bilang ayam yang dijual halal, ternyata ayam tiren (mati kemarin) yang dijual kembali. Mereka bilang banyak yang menawar, ternyata belum ada yang mampir ke tokonya. Mereka bilang bakso daging ternyata daging tikus. Kalau tidak percaya, reportase tr*ns tv setia menayangkan fenomena fenomena tersebut pada hari minggu pukul 17.00 WIB. Di Taiwan, saya bahkan sempat dilarang sendiri oleh pemilik warung supaya tidak membeli di warung miliknya karena ada babi dan dia tau saya muslim dan tidak makan babi. Ketika pergi ke Taichung teman saya bahkan rela mematikan suara tv ketika saya sedang solat, padahal saya tidak memintanya. Mungkin merekapun bahkan tidak tahu apa sedang saya lakukan. Yah itulah, mereka atheis tapi kadang lebih paham dari orang yang beragama. Saya sempat tidak boleh meminjam wajan dari teman sekamar saya karena dia baru menggoreng babi.
“Kita tidak akan tahu bentuk rumah kita kalau kita tidak keluar rumah.” Itu pernyataan pertama yang saya dengarkan ketika tiba di Taiwan pertama kali. Bagaimanapun kita dapat melihat kondisi negara kita dengan jelas setelah berada di luar negeri. Seperti melihat bentuk rumah kita dari halaman. Namun jangan diasumsikan untuk melihat kondisi Islam kita harus keluar dari Islam lho.
Apa hubungannya?
Kita beruntung terlahir atau mengaji dalam lingkungan Islam seperti di LDII. Ilmu yang diberikan ada dalam suatu kurikulum yang sistematis, hukumnya jelas, isnadnya jelas. Bagi yang sudah lama mengaji, sudah berapa hadits yang dipelajari? Banyak!! Berapa hukum yang dikaji? Tak terhingga, bahkan masalah kecil di kamar mandi pun dijelaskan secara gamblang. Nasehat pun arang ulune kucing, tidak ada habisnya. Ngaji setiap minggu selalu tertib. Hampir setiap hari ada nasehat, bahkan bertemu saudara dimana pun merupakan bentuk nasehat non-verbal. Saling mengingatkan dalam tindakan. Di luar negeri pun, warga LDII tetap diramut untuk menjaga keimanannya, diurusi ngajinya, dipenuhi fasilitas untuk ngajinya, selalu dipupuk keimanannya.
Lalu, kenapa masih banyak remaja warga LDII yang suka boncengan dengan lawan jenis? Kenapa masih banyak warga LDII yang tidak tahu cara bersuci? Kenapa masih banyak warga LDII yang solatnya selalu mepet-mepet, bahkan bolong? Kenapa banyak warga LDII yang tidak bisa mengayomi warga LDII yang lain? Ngaji telat? Kenapa masih banyak warga LDII yang sering melanggar lalu lintas? Bahkan untuk antri pun susah?
Take action or just learn? Kita belajar mengaji untuk diamalkan, bukan? Kenapa susah diamalkan? Menurut saya bukan karena susah diamalkan tapi kadang kita sendiri menganggap remeh hal hal kecil sehingga ketika tanpa sadar menyepelekannya. Ingat, tersandung pasti dengan kerikil, batu kecil dan sejenisnya. bukan batu berukuran besar.
Apakah kita hanya mengaji saja tanpa mengamalkan? Hmm, mungkin mengaji tanpa mengamalkan terlalu extreme. Atau lebih halus dikatakan mengaji tapi masa bodoh? Yang penting tahu? Banyak warga LDII yang kadang menganggap remeh hal hal kecil di hadits walaupun itu suatu hukum. Namun, tanpa sadar hal itu menjadi boomerang tidak hanya bagi mereka sendiri tapi juga bagi warga LDII secara keseluruhan. Warga LDII yang selalu diyakini mengamalkan hal-hal yang benar sesuai qur’an dan hadits akan kehilangan identitasnya. Efek yang lebih jauh, bahkan generasi penerus pun tidak tahu mana yang benar, mana yang salah? Mereka mengaji hal yang benar namun pada kenyataannya warga LDII yang lebih tua dari mereka yang seharusnya jadi panutan malah melakukan sebaliknya. Sedangkan praktik jelas lebih banyak dilihat dibandingkan teori. Bagaimana mereka tidak bingung?
“Ah, masih ada mas mubalighnya.” Pernyataan yang sering saya dengar ketika mengaji. Pikiran saya pertama kali ketika mendengar hal itu. “Emang mubaligh pengasuh anak loe?” Tidak salah memang, mereka yang mengajarkan ilmu. Mubaligh mempunyai peran yang penting dalam pelestarian ilmu qur’an dan hadits. Namun dengan siapa sebenarnya mayoritas generasi penerus itu menghabiskan waktunya? Siapa yang mereka lihat sebagai panutan? Bagaimana mereka menemukan identitasnya? Identitas kebenaran hukum hukum dalam alquran dan alhadits? Mereka bukan benda mati, mereka tumbuh, berkembang, melihat, dan meniru.
“Sudah, kalau nakal nakal dipondokkan saja.” Ketika saya mendengar pertanyaan seperti itu saya dalam hati langsung bilang “My Godness” Dimana tanggung jawab kita sebagai generasi yang lebih tua? Sebagai kakak? Sebagai ayah? Sebagai ibu? Sebagai sepupu? Sebagai om? Sebagai tante? Sebagai saudara warga LDII? Seolah lepas tanggung jawab. Ingat, pendidikan pondok selama satu tahun memang mampu menambah materi kekhataman kita terhadap alquran dan alhadits namun sisi psikologis dan karakter seseorang tidak dapat dirubah hanya dalam 1 tahun di lingkungan baru. Siapa yang membentuk karakter? Lingkungan dimana kita tinggal. Lingkungan tempat mereka hidup selama ini tidak mungkin bisa dirubah hanya dengan 1 tahun di lingkungan baru. Jika lingkungan dipenuhi oleh orang orang tanpa identitas, bagaimana generasi penerus kita mendapatkan identitas yang jelas? Dan, ketika generasi penerus tersebut melakukan larangan di dalam qur’an dan hadits, kita dengan serta merta menyalahkan mereka dengan berbagai alasan. Namun kita tidak pernah bertanya, bagaimana latar belakang terjadinya pelanggaran tersebut.
Setiap individu, besar kecil, tua muda, laki laki, perempuan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap lingkungannya. Hukum ketiga Newton mengatakan aksi = reaksi tidak ada reaksi jika tidak ada aksi. Setiap tindakan, perilaku individu memiliki impact bagi orang orang di sekitarnya. Sadar atau tidak setiap tindakan kita mempengaruhi sesuatu, entah itu lingkungan atau individu lain. Jadi bisa dibayangkan jika kita melakukan sesuatu hal dan mungkin tidak sesuai dengan qur’an dan hadits, bagaimana impact yang mungkin terjadi tidak hanya kepada kita, namun kepada saudara warga LDII kita bahkan kepada generasi penerus kita.
Suatu hal yang bodoh jika saya mengatakan agama saya adalah agama yang salah. Agama kita adalah agama yang benar. Jelas! Tidak bisa ditawar!! Namun tidak salah jika kita mengambil contoh perilaku orang-orang atheis di atas. Diambil yang baik baik saja ^^. Mereka tidak punya agama namun mereka tidak meninggalkan identitas mereka, dengan gempuran globalisasi, mereka tetap setia dengan budaya lokal.
Masih ingat dengan tragedy pemboikotan film “Tanda Tanya” karya hanung brahmantyo? Atau demo besar besaran hingga menewaskan dubes AS di Libya karena film “Innocence of moeslem?” Satu pernyataan yang saya kutip dari film “Tanda Tanya” karya hanung brahmantyo, diucapkan oleh seorang pastour ketika pementasan paskah dimana pemeran Jesus ketika itu adalah orang Islam. “Tidak akan rusak keimanan seseorang hanya karena sebuah drama.” Di dalam hadits sendiri diterangkan bahwa rusaknya suatu agama yang benar itu bukan dari luar tapi dari dalam. Kehilangan identitas diri mereka sendiri. Lebih tepatnya generasi penerus yang kehilangan identitas. Jumlah warga LDII dari tahun ke tahun secara kuantitas semakin banyak namun bagaimana cara kita memperkenalkan identitas kita? Identitas kita sebagai agama yang haq murni dari qur’an dan hadits?
Sehubungan dengan tindak kekerasan yang mengatas namakan Islam yang marak terjadi, saya berpendapat bahwa media harus dilawan dengan media. Jika media dilawan dengan kekerasan. Maka mereka sukses membuat dunia percaya bahwa image orang Islam adalah image orang yang immature (tidak dewasa), agama yang penuh kekerasan dll. Oleh karena itu suatu keputusan yang bijak jika kita tidak terprovokasi dengan kabar kabar miring atau berita yang menjelek jelekkan kita. Jika kita ikut terpancing, maka mereka telah sukses menuntun kita membuat image jelek kita sendiri.
So, Take Action or Just Learn?
Help Me and My Generation to Find Our Identity!! Tidak harus muluk muluk, harus demo atau segala macam, mulai dari diri kita sendiri. Berperilaku dan mengamalkan qur’an dan hadits, tidak setengah setengah. (Jika anda masih peduli dengan generasi selanjutnya sih..)
Semoga Allah paring manfaat dan barokah.
Adiyta P. – Penulis adalah mahasiswa master di Taiwan.