Apapun, saya lebih tahu tentang diri saya ketimbang orang lain. Bahkan, mungkin pasangan hidup saya sekalipun. Atau kedua orang tua yang melahirkan saya. Mereka boleh tahu, tapi itu bisa jadi hanya sebagian saja. Tidak comprehenship. Tampak luarnya saja. Lahiriah semata. Sayalah yang lebih faham luar – dalam, bagaimana watak dan karakter saya yang sebenarnya secara menyeluruh. Dimana kekurangan saya dan dimana letak kekuatan diri saya. Bercermin dari keadaan ini, maka sudah sepatutnya kalau orang yang suka instrospeksi mendapat predikat yang tinggi, baik di mata manusia maupun di sisi Sang Pencipta. Jarang ada orang yang mau berlama – lama memandang ke dalam. Mengupas keborokan – keborokan, membuang duri dengki dan membersihkan aroma iri – benci. Kemudian mau memperbaiki diri, membangun budi pekerti dan menebar wangi kebaikan; amar ma’ruf nahi mungkar ke alam sekitar. Wulang reh. Maka, Rasulullah SAW pun memberikan julukan al-kaisu – orang yang pandai, jika bisa berbuat seperti hal yang demikian.
Terus terang ada rasa rindu yang membuncah untuk bisa memperdalam syukur dalam beribadah ini. Apalagi jika dinasehatkan tentang empat tali keimanan. Ingin segera rasanya menceburkan diri larut dalam lautan ibadah dan berenang dalam alunan gelombang amal sholih. Sebagai wujud syukur, sebagai wujud mempersungguh. Tak henti – hentinya. Tak putus – putus. Untuk sampai pada aras abdan syakuron. Untuk memperoleh gelar ahli dalam ibadah ini. Namun apa dikata, raga ini terasa berat, yang rasanya malah akan tenggelam jika jadi dilemparkan ke samudra amal sholih dan tak akan muncul kembali. Semangat yang tak kunjung padam. Namun hanya sebatas itu. Prakteknya masih nol besar. Maka dalam keadaan seperti itu sering saya katakan, ”Hei awak, kamu pengin masuk surga apa neraka? Kenapa kok males diajak beribadah? Mengapa bot – boten netepi ibadah?”
Ironis. Menyedihkan. Dan di titik ini saya merasakan betapa lemahnya saya. Kepenatan kadang datang membunuh segalanya. Kesibukan kadang malah dicari – cari. Kelonggaran kadang terbuang percuma. Dan kesehatan seperti hal yang biasa, tiada artinya. Alih – alih berlindung dibalik kata pasrah dan mastatho’na, sebenarnya saya punya satu ketakutan. Yaitu kapan saya bisa berucap, ”Ya Allah, i love You full,” seperti kata Mbah Surip dalam setiap kemunculannya. Seiring dengan sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang manisnya iman, yaitu ketika seseorang telah bisa mencintai Allah dan Rasul-Nya mengalahkan cinta pada diri sendiri. Dan mungkin kesempatan terakhir yang masih saya punya adalah pengharapan dan doa agar suatu saat Allah berkenan memberi kekuatan kepada saya nanti untuk bisa berucap; ”Ya Allah, I love You full,” walau dengan lirih……, dari hati yang terdalam: Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasuulullaah.
Oleh :Faizunal Abdillah