Jakarta (9/6). Jelang Hari Raya Kurban, LDII kembali mengadakan pemantauan hilal di 75 titik seluruh Indonesia. Tak hanya ikut sidang isbat 1 Zulhijjah, LDII juga mengikuti laporan langsung persiapan ibadah haji dari Makkah.
Hasil perhitungan hisab menjadi penentu awal Syawal, Ramadan, dan Zulhijah. Setiap tahunnya, LDII mengikuti Sidang Isbat yang digelar Kementerian Agama di Jakarta, terutama saat ini jelang kurban pada Jumat (8/6). Sementara itu di berbagai daerah, Dewan Perwakilan Wilayah LDII bekerja sama dengan Kemenag wilayah setempat dalam pemantauan hilal. Ketua Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Dakwah DPP LDII KH Aceng Karimullah berharap ke depannya nanti, pengamatan hilal mencapai 150 titik.
Pengamatan hilal adalah untuk melihat bulan sabit muda yang menunjukkan tanggal satu, dengan ketinggian di atas 2 derajat. Secara teori, di bawah 2 derajat tidak mungkin terlihat teropong. Di atas 2 derajat pun juga kelihatan tipis, sehingga membutuhkan alat yang semakin canggih. Adapula gangguan dari alam berupa awan, “Atau sinar matahari begitu terang, sehingga menutupi,” ujar KH Aceng. Karena itu pengamatan selalu dilakukan tanggal 29 pada bulan sebelumnya.
Nabi mengatakan, puasa-lah kalian jika kalian belum melihat hilal, berhari rayalah jika melihat hilal. Kyai Aceng mengungkapkan, hilal pada zaman Nabi lebih terlihat meski tanpa teleskop karena langit tidak tertutupi berbagai macam benda seperti sekarang. Karena itulah, sekarang titik pengamatan hilal bertempat di lokasi dataran tinggi atau pesisir pantai.
Seringkali terjadi perbedaan pendapat pada pengamatan dengan metode hisab atau rukyat. Maka Kemenag sebagai institusi yang mengumumkan hasil Sidang Isbat, perlu menjelaskan kepada publik, agar tidak muncul perselisihan. “Pengamatan hilal harus berupaya sampai hal sedetil, baterai alat yang harus terisi, sinyal yang harus kuat agar menyampaikan data dengan baik,” jelasnya. Selain itu, laporan pengamatan hilal juga perlu disumpah di hadapan hakim sehingga laporan itu menjadi sah, tambah Kyai Aceng.
Mengenai persiapan ibadah menyambut kurban, sejak tanggal 1 Zulhijah disunahkan untuk tidak memotong kuku, rambut, jenggot. Dasarnya adalah hadis Rasulullah, “Barangsiapa yang niat berkurban demi kesempurnaan ibadah kurban mulai tanggal 1 sudah tidak memotong kuku, sebagaimana orang yang melakukan ihram untuk ibadah haji di Mekah.”
Kurban dalam Perspektif Agama
Ibadah kurban, menurut Kyai Aceng adalah salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah. Syariat penyembelihan binatang ternak, direpresentasikan oleh ibadah yang dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim dan Ismail. Rasulullah SAW sendiri bersabda, ukuran kurban yang mendatangkan pahala besar adalah dihitung dari bulu hewan itu sendiri, “Yang artinya sebegitu banyaknya pahala berkurban,” ujar Kyai Aceng.
Secara ilmiah, berkurban perlu pilihan hewan ternak yang bagus, tapi dengan syarat sesuai kemampuan diri. “Semua aturan agama memiliki aturan sesuai kemampuan, jika saat ini tidak mampu berkurban, tidak perlu dipaksakan. Seandainya bisa berkurban, sementara tetangga tidak bisa, maka tidak boleh ujub. Karena bagi Allah bukan lahiriah yang dinilai, tapi keikhlasan hati,” katanya.
Tawadhu, tadharru’, tidak boleh ujub, segala bentuk kebaikan bisa dinilai sebagai sedekah. Kyai Aceng menambahkan, juga bisa ditambahkan dengan mendoakan orang lain. Terkait kebaikan, menjelang 10 hari sebelum perayaan Idul Adha itu, umat Islam bisa menjalankan puasa sunah arafah. Hal itu dilakukan bagi umat Islam yang sedang tidak melaksanakan ibadah haji. “Keutamaan puasa arafah, diampuni dosa setahun sebelum dan sesudahnya. Selain itu, umat Islam bisa meningkatkan ibadah dan berbuat baik sebelum ibadah kurban pada tanggal 9 dan 10 Zulhijjah nantinya,” ujar Kyai Aceng.
Pantauan Langsung Jelang Ibadah Haji
Pengasuh Ponpes Al Ubaidah, Kertosono, Nganjuk KH Ubaidillah Al Hasany yang melaporkan langsung dari Makkah mengenai ibadah haji, mengatakan bahwa kuota tahun 2024 Indonesia mendapat kuota terbanyak.
Ia mengatakan, pada saat siaran langsung di youtube LDII TV, bahwa cuaca panas tak menghalangi para jemaah haji untuk ibadah. Bahkan Habib Ubaid menambahkan, ia terus mengimbau agar para jemaah tidak menguras tenaga demi kelangsungan rukun haji pada waktunya. “Apalagi jamaah haji itu belum pernah ke Makkah. Target utama ibadah masih tanggal 8 nanti, sehingga jemaah perlu terus diingatkan untuk hemat energi,” ujarnya.
Dalam pantauannya, Habib Ubaid mengatakan bahwa pemerintah juga membantu memfasilitasi jamaah haji Indonesia, baik di Makkah, Arafah, maupun Mina meski ada lonjakan kuota.
Selain itu, Habib Ubaid juga berbagi tips agar haji mabrur dengan pelaksanaan syariat. Hal itu penting, karena manusia yang berkumpul untuk haji di Makkah membawa berbagai macam syariat. Sehingga terkadang ada yang berdoa di tempat yang bukan seharusnya.
“Seperti berdoa di tugu Jabal Rohmah, banyak yang berdoa di sana, padahal bukan tempat dan waktu yang termasuk mustajab,” ujarnya. Karena itu pada pengkajian manasik haji perlu dipersiapkan dengan baik agar syariatnya terjaga mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
“Jika syariat ibadah haji dilanggar, apalagi sampai syirik, maka rangkaian ibadahnya sia-sia. Disayangkan karena waktu, tenaga, dan materi terbuang, tapi ibadah hajinya tidak sah,” ujarnya. Peran pembimbing haji, menurut Habib Ubaid sangat penting, untuk membekali ilmu dan bertanggung jawab.