Susah untuk mendefinisikan kaya. Sebab ia berubah – ubah seiring berkembangnya waktu. Dulu punya sepeda saja bisa dikatakan kaya. Kemudian berkembang, disebut kaya kalau punya ‘honda’. Orang kampong saya menyebutnya udug. Kemudian hal itu tak berlaku lagi, karena baru dikatakan kaya kalau sudah mengendarai mobil. Terus, terus dan terus berkembang. Tak ada habisnya. Bahkan daftar orang kaya pun terus berubah dari tahun ke tahun. Tapi ada kesepakatan tentang kemiskinan. PBB lewat organisasi underbownya: ILO dan WHO – mengeluarkan definisi jelas, bahwa dikatakan miskin kalau penghasilan perharinya kurang dari US $ 2. Atau kalau dikurskan menjadi sekitar IDR 20.000,-. Inilah garis kemiskinan itu. Namun, tiba – tiba saja memory saya terbang jauh ke jaman mahasiswa dulu. Salah satu mentor saya – Mas Fauzan Luthfi – dalam satu kesempatan pernah berkata ketika kita punya istri, sepetak kamar untuk tempat berteduh dan pembantu, maka status kita adalah raja. Predikat raja pantas disematkan di pundak kita. Jika kita punya istri dan rumah untuk tempat tinggal, maka status kita adalah kaya. Bukan fakir atau miskin apa lagi. Ini, yang kucari.
Perburuan status dan predikat kaya sudah menjadi fenomena umum umat manusia, dari dulu sampai sekarang. Seperti lampu yang dikejar para laron. Bahkan saking menderunya, apapun dilakukan. Segala cara ditempuh. Berbagai upadaya ditebas. Tak kenal halal, tak kenal haram yang penting ujungnya: kaya. Sebab kaya adalah strata. Kaya adalah penghormatan, meski besar pengorbanannya. Medan perburuan sedemikian dramatisnya, sulit dan berat, sampai – sampai banyak kata terucap: cari haram saja susah, apalagi yang halal. Dunia oh dunia, begitu dalam membiusnya.
Tak ayal lagi, jarang manusia yang berspirit takut kaya. Padahal esensinya inilah yang dicari. Semua orang terlahir miskin, jadi tidak perlu takut miskin lagi bukan? Sebab dari asalnya sudah miskin. Sedangkan kaya adalah sesuatu yang baru dengan segala problematikanya. Sudah siapkah kita dengan dunia yang baru yang disebut dengan sebutan orang kaya itu?
Nah, sebelum kita sampai di sana, di ranah kaya, harta dan benda – kajen keringan – kayakanlah hati kita dulu. Besarkanlah jiwa kita dahulu. Bahwa ada standar minimal yang bisa mengharu – biru suasana kekayaan hati kita. Bukan kuantitas, tetapi kualitas. Landasan utama untuk berteriak; eureka! Sebab pada hakikinya kita telah menjadi kaya bahkan menjadi seorang raja. Dari beberapa tafsiran dan definisi, mungkin hadits ini bisa dijadikan rujukan arti kaya yang lebih sederhana dan mengena. Lebih membahana dan lebih bisa dirasa untuk dihayati apa adanya.
Dari Abu Abdirrahman al-Hubuli, dia mengatakan, aku pernah mendengar Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan dia ditanya oleh seseorang, orang itu mengatakan, “Bukankah aku termasuk salah satu fakir Muhajirin?” Abdullah balik menanyainya, “Apakah kamu mempunyai seorang istri tempat engkau kembali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki rumah yang bisa engkau tinggali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah lalu mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk orang kaya.” Orang itu berkata lagi, “Sesungguhnya aku memiliki seorang pembantu.” Abdullah mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk raja.” (Rowahu Muslim – hadits mauquf).
Banyak orang yang terlupa dengan spirit hadits di atas. Bahkan nggak populer, karena bius dunia. Semangat kesederhanaannya hilang. Yang ada adalah saling mengungguli, antara satu dengan yang lain. Kaya adalah serentetan perabot rumah beserta isinya. Segandengan kendaraan dan rasa bangganya. Sekumpulan rasa wah terhadap sekitarnya. Padahal, ada yang lebih sederhana, sebagai pelengkap hati yang kaya, kayanya diri yaitu ketika kita memiliki istri dan rumah sendiri. Serempak dengan spirit redaksi hadits ini adalah hadits yang menyatakan miskin bagi lelaki yang belum beristri.
Masa depan adalah misteri, nggak ada yang tahu kita mau jadi apa. Jalanilah hidup ini apa adanya, seperti air mengalir. Isilah hati dan jiwa kita dengan paradigma kaya hati. Penuhi jiwa kita dengan ghina nafs. Ini yang paling penting dan genting. Sebab darinya bisa menelurkan kesederhanaan dalam berpikir dan kesahajaan dalam mengambil keputusan serta keindahan dalam memandang hidup. Tidak grangsang. Tidak ngoyo. Tapi bisa sakdermo. Nrimo ing pandum.
Maka selain menyempurnakan agama, ketika seorang lajang menikah, maka statusnya dia merintis jalan menuju kaya. Setengah kakinya sudah berada di area kaya, tinggal selangkah lagi demi kesempurnaannya. Yang penting, mari sadari betul bahwa mau kaya itu gampang dan mau jadi raja itu juga gampang (kalau Allah paring). Caranya pahamilah dalam – dalam hadits di atas. Sayangnya, banyak orientasi, pemikiran dan keyakinan kita masih berada di seberangnya atau malah menerjang dengan kuatnya – breakthrough, sehingga hancurlah semua. Kaya hati tidak. Kaya harta tidak. Kaya pemikiran tidak. Bahkan kaya cita – cita pun tidak. Alangkah sedihnya. Yang ada hanya rintihan, keluhan dan kesahan: oh kaya – kaya,… betapa susahnya. Padahal hidup itu sendiri adalah kekayaan yang melimpah. Siapa memungkirinya?
Oleh : Faizunal Abdillah