Jakarta (26/11). Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan di Indonesia. Mengutip data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi, yakni 24,4 persen. Artinya, hampir seperempat balita Indonesia mengalami stunting pada tahun lalu.
“Ini menjadi tantangan bagaimana strategi mencegah dan mengatasi dampak stunting,” ujar Ketua Tim Kerja Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Gizi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan RI, Inti Mudjiati, saat memberikan materi dalam webinar “Aksi Bersama Cegah Stunting” DPP LDII, pada Sabtu (26/11).
Acara tersebut dihelat secara hybrid, melalui studio utama secara offline di Aula Pondok Pesantren Minhaajurrosyidiin, Pondok Gede, Jakarta. Dan secara online diikuti oleh anggota Biro Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga (PPKK) dan Biro Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Lisdal) DPW dan DPD LDII se-Indonesia. Dihadirkan pula guru sekolah, remaja putri dan ibu-ibu, perwakilan PC dan PAC LDII se-Indonesia, dengan total 500-an studio mini.
Meskipun tergolong tinggi, angka stunting lebih rendah dibanding 2020 sebesar 26,9 persen. Untuk itu, ia mengapresiasi LDII yang turut mendukung pemerintah dalam menekan angka stunting di Indonesia, “Ini merupakan tanggung jawab bersama, dan perlu dukungan dari seluruh komponen masyarakat,” tambahnya.
Inti mengungkapkan, pemerintah menargetkan angka stunting di Indonesia akan turun menjadi 14 persen pada 2024. Percepatan penurunan angka stunting di Indonesia merupakan salah satu upaya untuk menyosong Indonesia emas pada tahun 2045 mendatang. “Ini menjadi hal yang penting untuk mewujudkan generasi berkualitas, unggul, dan berdaya saing,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, ada dua faktor utama yang menyebabkan stunting, atau gangguan tumbuh kembang anak, “Pertama asupan makanan, bukan hanya dari sisi jumlah, tetapi juga dari kualitas makanan. Yang kedua adalah status infeksi, atau status penyakit. Dua hal ini akan saling memengaruhi menyebabkan stunting,” jelasnya.
Menurutnya, selain dapat menyebabkan anak-anak memiliki kemampuan kognitif, motorik, dan intelektual yang rendah, serta daya tahan tubuh yang rentan, stunting memiliki dampak negatif jangka panjang yang perlu diatasi bersama. “Stunting menjadi hal yang penting untuk ditanggulangi karena berdampak pada kesehatan, pertumbuhan penduduk dan ekonomi,” pungkasnya.
Untuk meminimalkan potensi stunting di Indonesia, ia mengungkapkan status gizi, postur, usia dan jarak kehamilan adalah poin-poin utama yang harus diperhatikan. Untuk itu, pencegahan stunting dimulai dari remaja putri sebagai calon ibu masa depan. “Salah satunya menangani anemia dengan mengonsumsi satu tablet tambah darah per minggu,” ungkapnya.
Selain itu, ia mengungkapkan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai kunci untuk mencegah stunting. Para orang tua, khususnya ibu hamil dianjurkan memperhatikan gizi selama kehamilan hingga anak berusia dua tahun. “Perbaikan gizi 1.000 HPK dimulai saat di dalam kandungan, sampai bayi usia dua tahun. Ini merupakan fase penting dalam pencegahan stunting,” jelasnya.
Untuk itu, ia mendukung langkah LDII mendukung Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagai upaya meningkatkan konsumsi makan ikan masyarakat Indonesia. “Ikan sangat bermanfaat untuk mencegah stunting karena memiliki kandungan gizi dan protein yang tinggi. Tentu ini perlu menjadi kebiasaan masyarakat untuk meningkatkan makan ikan,” lanjutnya.
Ia berharap LDII dapat menjadi mitra Kementerian Kesehatan dalam mencegah dan mengatasi permasalahan stunting di Indonesia, “Kami sangat berharap dukungan dan sinergi dari keluarga besar LDII untuk bersama menjadi agent of change pencegahan stunting di Indonesia,” tutupnya. (FU/LINES)