Jakarta (18/4). Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistiyono didampingi Ketua Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) KH Aceng Karimullah, serta pengurus harian lainnya, menghadiri Tadarus Peradaban dan buka bersama di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta, Jumat (14/4).
Acara tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) dengan Duta Besar (Dubes) Republik Rakyat Thiongkok (RRT) Mr Lu Kang. Pada kesempatan itu Ketua Umum LPOI-LPOK KH Said Aqil Siradj mengatakan kebersamaan dan kerja sama antara Indonesia dan China, memiliki akar sejarah dari ikatan spiritual yang kuat.
Sejarah tersebut harus diorkestrasi agar mampu meningkatkan masa depan bersama yang lebih baik, “Kolaborasi dan interkoneksi Indonesia-Tiongkok harus diperkuat dan dilanggengkan. Hubungan Indonesia-Tiongkok, people to people harus dipererat dalam persaudaraan dan kekeluargaan,” ujarnya.
KH Said juga menegaskan pentingnya kerja sama komoditas Indonesia-China dalam business to business, harus diintensifkan dan saling menguntungkan. Selain itu, kolaborasi dunia pendidikan juga harus dijalankan. Demikian halnya dengan kemitraan antarpemerintah Indonesia-China, dibangun dengan kokoh dan bervisi.
Indonesia dan China bisa menyatu bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, “Prasyarat untuk membangun peradaban dunia yang lebih baik diperlukan keberadaan orang-orang saleh dan muslih yaitu orang yang baik dan memperbaiki,” ujarnya.
Menurutnya, diperlukan keadilan kuasa negara melalui regulasi yang lebih memihak keseimbangan antara perdamaian masyarakat bumi, kemitraan, dan profit. “Demikian halnya diperlukan nonstate actor organisasi-organisasi masyarakat yang mampu menjadi konsolidator dan kontrol sosial yang kritis, konstruktif dan bertanggung jawab,” tambah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Menanggapi perhelatan akbar tersebut, Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistiyono menegaskan Tadarus Kebangsaan yang diinisiasi oleh LPOI-LPOK merupakan agenda yang luar biasa, karena menyadarkan masyarakat bahwa kejayaan bangsa dan negara itu bukan ditentukan oleh agama.
“Tapi kejayaan suatu negara dilihat dari tingkat peradaban. Untuk itu, kita menjadi semakin sadar bahwa agama tidak bisa dijadikan sebagai bentuk dari sistem kenegaraan kita. Apalagi negara kita merupakan negara yang terdiri dari masyarakat yang plural,” ujarnya.
Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro itu menambahkan, Indonesia terdapat banyak agama dan kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan Indonesia negara agama. Agama bisa menjadi sumber dari nilai-nilai moral yang bisa dipraktekkan oleh setiap warga negara.
“Betapa pentingnya menjalin persahabatan dengan semua negara termasuk RRT yang ternyata memiliki keploporan dalam hal kerja sama dengan dasar kesetaraan, keadilan dan saling membantu,” tambahnya.
Terkait agama yang dipolitisasi, Singgih berpandangan, harus introspeksi diri. Indonesia sudah memiliki ideologi yang menjadi warisan founding fathers yaitu Pancasila. “Kita tidak perlu mencari alternatif ideologi lain. Apakah itu komunisme, liberalisme, ataupun agama tertentu karena semua itu akan mengarahkan kepada satu kondisi yang saling berbenturan,” ungkapnya.
Ia menegaskan, Pancasila sudah sangat mewadahi semuanya, tinggal menagih komitmen para pemimpin dan komitmen tokoh-tokoh masyarakat untuk betul-betul mengamalkan Pancasila.
“Sebenarnya kalau Pancasila diamalkan tidak akan ada korupsi, tidak ada pengalahgunaan kekuasaan, tidak ada kekerasan dan sebagainya. Yang ada hanyalah, dengan dasar moral keagamaan, dasar rasa kemanusiaan, kita hidup dalam bingkai Indonesia untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur dengan demokrasi, musyawarah dan mufakat,” tutupnya.