Makassar (24/5). DPW LDII Sulawesi Selatan (Sulsel) mendukung sepenuhnya larangan berkampanye di rumah rumah ibadah. Agar tidak timbul konflik komunal antar warga dan antar pendukung pasangan calon (paslon) kepala daerah.
“Sejatinya tempat-tempat ibadah difungsikan untuk tujuan ibadah, pendidikan, kegiatan sosial, dan untuk tujuan penyampaian atau syiar agama, bukan tempat berkampanye bagi calon kepala daerah,” ujar Wakil Ketua DPW LDII Sulsel Sukardi Weda.
Hal itu disampaikan pada acara ‘Bawaslu Menyapa Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama’ di Hotel All Nite & Day, Makassar pada Jumat (17/5). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.
Kegiatan yang dibuka Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Sulsel H Muh Tonang itu, juga disaksikan Komisioner Bawaslu Sulsel. Dalam sambutannya H Muh Tonang mengingatkan kembali tentang surat edaran dari Menteri Agama yang melarang penggunaan rumah-rumah ibadah sebagai tempat untuk berkampanye.
Ia menambahkan, pihaknya bersama para tokoh agama dan pemerintah Sulawesi Selatan telah berkomitmen mengkampanyekan Pemilu Damai yang ditandai dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU). Selain itu, ia menekankan bahwa agama merupakan pakem dan tokoh agama berperan penting sebagai teladan bagi umat untuk menjaga netralitas.
Terkait kampanye, Ketua Komisi Infokom H Firdaus Muhammad juga mengatakan bahwa politik uang telah menjadi budaya pada masyarakat Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan, meski hal itu menjadi masalah.
Mengutip sebuah buku, Firdaus menyampaikan, money politic itu seharusnya dilegalkan. Pasalnya, semua politisi membutuhkan dana bergerak saat berkampanye. “Money politic tak bisa dipungkiri, karena setiap kandidat dalam menggerakkan tim pastilah membutuhkan biaya,” tegasnya. Namun, menurutnya bila merujuk pada Undang-Undang Pemilu, pemberi uang dan penerima uang itu sama-sama dikenakan hukuman, maka ini menjadi dilema bagi masyarakat.
Menurutnya lagi, masyarakat sekarang harus tidak mudah tergiur dengan uang untuk memilih seorang kandidat. Sehingga hal itu juga menjadi karakter masyarakat yang lebih memperkuat diri. “Saat ini sangat sulit untuk memastikan bahwa seseorang itu tidak terpapar oleh politik uang. Tidak ada jaminan pada seseorang bahwa dirinya terbebas dari paparan money politic ini,” lanjutnya.
Karena itulah dibutuhkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengatasi hal tersebut. “Ibaratnya dalam sebuah pasar, maka bisa dikatakan bahwa rata-rata mereka sudah terpapar dengan budaya ini. Sehingga disinilah dibutuhkannya peran para tokoh agama dan tokoh masyarakat,” kata dia.
Persoalan lainnya, terkadang justru tokoh masyarakat itu sendiri yang terlibat politik uang, baik secara langsung maupun tidak langsung khususnya di daerah-daerah. “Mengubah paradigma bahwa politik itu kotor, sangat sulit. Apalagi jika pemahaman tersebut sudah tertanam di kalangan para mahasiswa atau masyarakat,” ujarnya.
Peran tokoh agama dan majelis agama, menanamkan nilai-nilai kedamaian dan kerukunan di rumah ibadah masing-masing. Tokoh agama berperan memberikan pendidikan politik tetapi tidak berpolitik praktis.