Jakarta (21/9). Ketua DPW LDII Jawa Barat Dicky AM Harun mengungkapkan, program mencerdaskan anak bangsa, harus diimbangi dengan program kesehatan yang baik. Hal itu ia katakan dalam “Podcast Rakornas LDII”, dengan tema “Meningkatkan Kesadaran Hidup Sehat pada Warga Masyarakat”. Podcast tersebut dihelat mendampingi kegiatan Rapat Koordinasi Nasional LDII di Ponpes Minhaajurrosyidiin, Jakarta, pada Jumat (20/9).
“Kalau sakit dan sulit berobat, karena masih kurangnya infrastruktur kesehatan, maka kecerdasan bisa kurang maksimal,” kata alumnus Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran tersebut.
Untuk itu, ia berharap, anggaran kesehatan bisa mencapai 10 persen. “Saat ini, masih di kisaran lima persen. Jika dinaikkan, potensi mewujudkan generasi bangsa yang cerdas dan sehat, akan lebih berpeluang,” ujar Dicky.
Dicky memperkuat, pondasi membangun bangsa adalah pendidikan dan kesehatan. Hal yang sama, dilakukan oleh LDII. “Core business LDII adalah dakwah, dan ini tidak bisa berdiri sendiri. Butuh dukungan ekonomi, keamanan dan kesehatan,” ujar Dicky. Maka, pendakwah harus sehat. “Kalau sakit-sakitan, bagaimana mau berdakwah,” imbuhnya.
Selanjutnya, terkait virus, seperti Covid-19, Ketua DPW LDII Lampung, Aditya mengungkapkan, ketika sedang menjangkit, tidak semua otomatis terpapar. “Tergantung bagaimana daya tahan tubuh, gizi makanan yang dikonsumsi, serta tingkat stress dalam diri seseorang,” ujarnya.
Untuk itu, perlu belajar, bagaimana meningkatkan daya tahan tubuh. “Salah satunya, di LDII, telah mencanangkan, rumah tangga memiliki tanaman herbal. “Misalnya dengan memanfaatkan temulawak untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan mengobati penyakit tertentu,” tutur Aditya.
Berbicara stres yang saat ini banyak melanda generasi masa kini, Aditya mengingatkan seseorang anak tidak boleh terlalu bergantung pada orang tua. “Harus diajarkan cara menghadapi masalah, Jika menghindari masalah, tidak baik untuk dirinya. Karena, masalah akan selalu datang, tinggal bagaimana melatih anak untuk kuat menghadapi masalah,” jelasnya.
Selanjutnya, terkait fenomena cuci darah, Aditya mengungkapkan, bangsa Indonesia mengalami tantangan tersebut. “Bahkan ada anak usia 7 tahun, telah cuci darah. Karena senang mengonsumsi minuman kemasan bergula tinggi,” ujarnya.
Aditnya melihat hal ini, sebagai sesuatu yang miris. “Orang tua ingin menyenangkan dan menenangkan anak melalui minuman tersebut, namun ternyata malah berakibat buruk. Karena, gula tinggi dapat membuat ketagihan dan merusak metabolisme tubuh,” kata Aditya yang juga alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Selain itu, gula juga dapat menjadi momok pada kesehatan gigi. Bakteri mudah berkembang biak pada lingkungan yang manis. “Bahkan di gigi, seseorang anak yang suka minum manis, kemudian tidak diedukasi untuk rajin sikat gigi. Gula akan menempel di gigi, membuat bakteri cepat berkembang biak, dan gula akan berikatan dengan asam, dan membuat gigi menjadi keropos,” imbuhnya.
Menanggulangi isu cuci darah dan gigi keropos, Aditya menyarankan, perlu edukasi rajin menyikat gigi dan cukup minum air putih. “Strategi lainnya adalah perlu literasi memahami kandungan makanan di kemasan, sehingga konsumsi terhadap makan dan minuman tertentu tidak berlebihan,” kata Aditya yang mengambil spesialis transfusi darah itu.
Untuk itu, Aditya menegaskan, orang tua harus mengajarkan kepada anak untuk kritis terhadap produk makanan atau minuman kemasan tertentu. “Bagaimana dampaknya jika dikonsumsi berlebihan,” ujarnya.
Aditya mengungkapkan, “Kita adalah apa yang dikonsumsi. Maka harus bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dikonsumsi, untuk mewujudkan tubuh yang sehat,” tutup Aditya.
lanjutkan