Penggunaan teknologi digital bukan sekedar alat yang dipasang lalu dipakai, tapi juga merupakan sinergi antara perangkat keras, dengan struktur dan kultur. Teknologi yang digunakan seorang diri tidak terasa kegunaannya, tapi jika dalam satu komunitas, maka akan sangat berguna.
Hal ini diungkapkan oleh Prasetyo Sunaryo, mengawali acara Lokakarya Nasional 2019 yang kembali lagi digelar di Gedung DPP LDII, Jakarta (12/9). Ia berpendapat, dalam ormas yang memiliki struktur seperti LDII, lokakarya ini bermanfaat membahas bagaimana teknologi dapat berguna dalam bidang ekonomi dan pendidikan.
Pada gelaran acara hari Selasa lalu lokakarya membahas digital ekonomi yang melibatkan pegiat ekonomi, pengusaha, dan pemerhati bidang keuangan, pemasaran, serta produksi. Kali ini yang hadir adalah para tenaga pendidik, pengajar, perwakilan yayasan pendidikan, kepala sekolah, serta pamong pendidikan. Hadir pula, Kepala Pusat Teknologi, Komunikasi, dan Informasi, Gogot Suharwoto sebagai keynote speaker yang membahas ‘Pendidikan di Era Digital’.
Didepan kurang lebih 200 peserta lokakarya, Ketua Umum LDII, Abdullah Syam memperkenalkan tim ECH (Education Clearing House) yang sebelum lokakarya nasional ini diadakan, telah membuat focus group discussion untuk merumuskan output bidang pendidikan. Berupa panduan kurikulum, panduan masalah anak didik, serta kelembagaan pendidikan.
Sebagai kontribusi LDII pada Indonesia, dengan adanya perumusan panduan pendidikan, para sumber daya manusia ini menjadi profesional religius. Selama ini yang dilakukan LDII adalah proses membina dari tingkat usia dini hingga mahasiswa. Terlebih lagi, pembinaan pendidikan yang kini berbasis digital.
Gogot Suharwoto juga berpendapat, bahwa pendidikan bisa bertahan dan bersaing di era yang besar kuncinya ada pada guru. “Guru harus bisa memahami, karakteristik anak didik sekarang secara genetik berbeda dengan para orangtua,” ujarnya.
Mengutip World Economic Forum, ia memaparkan industri 4.0 memiliki resiko melahirkan terminologi baru. Gambarannya, jika dulu pekerjaan produsen dan konsumen terpisah, maka sekarang konsumen bisa mengerjakan pekerjaan produsen. “Contoh dari pesan tiket pesawat saja, lalu saat boarding pass, hingga naik ke pesawat, beberapa pekerjaan sudah hilang. Sudah bisa ditangani oleh penumpang itu sendiri lewat teknologi,” kata Gogot.
Internet of Things, informasi yang dimiliki dari internet, itu bisa menggerakkan semua orang. Lalu adanya Big Data, dalam pendidikan, dimanfaatkan oleh Kementerian Pendidikan untuk mendata setiap siswa diberi nomor induk siswa, lalu dimasukkan dalam data pokok pendidikan atau DAPODIK. Data ini nantinya diolah dan ditampilkan dalam bentuk laporan evaluasi bagi siswa tersebut. Ini adalah sebagian kecil proses pemanfaatan teknologi dalam pendidikan.
“Para guru harus melakukan perubahan. Pemberdayaan teknologi ini jika dipakai dalam kelas, sudah pasti menarik minat anak didik,” kata Gogot melanjutkan.
Anak-anak masa kini secara garis besar butuh kebebasan mengekspresikan diri, yang sayangnya hal itu tidak didapat di sekolah. Ia menekankan, ini menjadi tugas guru yang siap mengintegrasikan teknologi dalam kelas.
Dalam Teachers Competition Network di San Fransisco, pengujian guru dibagi dalam empat level; Literasi TIK, Pendalaman Pengetahuan, Kreasi Pengetahuan, dan Berbagi Pengetahuan. Dari sekitar dua ribu lebih guru yang mengikuti, sekitar 40 persen guru lulus di tahap pertama yaitu Literasi TIK, dan pada tahap kedua sebanyak empat belas persen mendalami pengetahuan ICT, sedangkan pada tahap ketiga dan keempat hanya sekitar delapan persen guru yang bisa melampaui tes tersebut.
Di Indonesia sendiri, pemerintah menetapkan lewat Peraturan Kementerian Nasional No.22 Tahun 2007 bahwa guru diwajibkan untuk memanfaatkan teknologi untuk pengembangan diri, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran. Dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru mampu menerapkan teknologi yang terintegrasi sistematik dan efektif.
Terakhir Gogot menyampaikan, sikap dan perilaku pengajaran guru dalam kelas yang tadinya bergaya instruksi, perlu diubah dengan cara konstruksi. “Guru perlu empowered. Agar pemahaman anak-anak didiknya terbangun. Constructed. Sistem penilaian pun berubah, dari yang single path jadi multiple path,” pungkas Gogot.(*/lines)