Namanya Abu Bakar Al-Kindi. Sebelum bertemu orangnya, pasti akan mengira kalau dia orang arab, dari namanya. Apalagi Abu Bakar, nama seorang sahabat yang tenar, khalifah pertama, yang bergelar Ash-Shidiq. Semua orang kenal dengan nama itu. Ditambah lagi Al-Kindi yang menunjukkan remahnya tata bahasa arab, seperti Al-Kahfi, Al-Ghifari, dan lain-lain.
Ini tipuan yang pertama. Begitu ketemu orangnya, hilang apa yang ada di kepala. Bayangan orang arab yang tinggi besar, hidung mancung dan badan kekar sirna. Mata sipit. Kulit kuning. Wajah 100 persen Cina. Tak ada wajah Melayu, Jawa atau Arabnya. Lawan bicara pun langsung merubah imajinasinya; Ohh ternyata dia keturunan Cina. Orang Cina dengan nama Arab. Inilah tipuan yang kedua. Tidak hanya sampai di situ, ketika dia mulai bicara dengan intonasi yang berat khas pejabat, orang baru sadar dari ketidak-percayaannya. Walau bernama arab, raut – muka asli cina, tapi haqqul yaqin dia produk local. Indigo. Bukan gaya, bukan nyombong dia memang asli putera Palembang. Dengan berkelakar dan santainya dia berseloroh, bahwa banyak orang yang tertipu ketika pertama kali kenal dengannya, apalagi kalau lewat telepon. Sebab nama arab, tampang cina, tetapi produk Palembang. Itulah tipuan yang ketiga.
Tak ada aturan dan pakem yang jelas dan baku dalam memberi nama. Orang jawa diberi nama arab boleh – boleh saja. Atau tetap pakai role model nama jawa yang pakai to dan no juga gak apa-apa. Sukarno, Suharto adalah contoh nama jawa yang beken. Kita juga kenal Gus Dur, yang nama aslinya adalah Abdurrahman. Namun banyak orang yang merasa tidak sreg dengan nama aslinya. Kurang menjual, kurang keren atau kurang hoki, katanya. Apalagi jika bersentuhan dengan metropolitan atau alasan tertentu. Demi yang satu ini, yang semula bernama Paijo mengenalkan diri sebagai Jhon Pai. Tadinya bernama Joko menjadi Jack. Nama aselinya Edy Sudarno, tetapi kalau kenalan pakai nama Hambali. Dan banyak lagi yang lain. Orang melayu diberi nama barat boleh saja. Alex, Jexi, Lexi adalah beberapa contohnya. Asal jangan memberi nama anti sara, itu bisa berbahaya. So, janganlah mempersoalkan nama. Biarkanlah apa adanya. Walau kadang kita tertipu dibuatnya. What’s the name?
Ketika ada teman bercerita, dengan maksud menunjukkan keprihatinannya, jusru mendapatkan respon yang tak diduga. Entah bermaksud bergurau atau serius, rasanya gak pas dilakukan pada situasi seperti itu. Ketika sedang bercerita tentang suatu keluarga yang patungan untuk sebuah tiket, Neneknya nyumbang sekian ratus ribu, Ibunya sekian, Bapaknya sekian dan adik-adiknya sekian sampai tertutupi harga tiket tersebut, dan berhasillah si anak sulung nonton Konser Suju di GBK. Yah, gotong royongnya sih bagus, tetapi apa ya perlu sampai segitunya. Naudzubillah. Tiba-tiba ada yang nyeletuk dari sudut ruangan; masalah buat loh!
Banyak diantara kita bersikap kepada sesuatu yang seharusnya bukan menjadi masalah justru kita usil berkata; Emang masalah buat loh! Sedangkan pada sesuatu yang seharunya menjadi masalah, justru kita diam membiarkannya saja. Padahal jelas itu masalah buat loh. Serius atau bergurau. Allah berfirman; “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”. (QS Al-A’raf:164)
Di rumah kami yang kecil pada bulan Ramadhán kemarin, petengkaran sporadik di antara anak-anak kami sering terjadi. Untuk diakui keberadaan dan perannya, berbagai cara dilakukan oleh anak-anak itu. Salah satunya dengan hal-hal yang aneh, hanya sekedar untuk cari perhatian atau perlindungan di dalamnya. Mendengar adiknya mengadukan tingkah kakaknya yang batal puasa, makan dan minum sembunyi-sembunyi, dengan cekatan si Kakak menyahut; “Masbuloh!” Dengan mimik yang seolah menantang; “Itu urusan gue, lho gak usah ikut campur!” Juga ketika si Sulung sedang asik main laptop diusili adiknya, serta merta dia bicara; “Masbuloh! Kamu kan sudah main lama, sekarang giliranku,” sergahnya.
Saya jadi bingung apa maksud masbuloh ini. Apa ada tetangga baru? Kok dipanggil-panggil mas. Saya pun penasaran. “Pak, itu Mas main terus seharian. Tadi dia ngabisin makanan. Terus belum mandi juga sampai sekarang. Chargernya disembunyiin…..dst.” “Masbuloh!”, celetuk kakaknya. Rasanya, semakin ngetrend saja kata ini di telinga. Sayang saya belum ngerti maksudnya. Melihat maknanya seperti istilah EGP tempo dulu. Akhirnya istri saya buka suara; “Masbuloh itu Pak, maksudnya masalah buat loh. Ah payah, gak gaul!” Oooh, akhirnya….
Dulu ada idiom Emang Gue Pikirin (EGP), sekarang beralih topik menjadi masbuloh (masalah buat loh). Beda jaman emang beda model. Demikian juga dengan prokem. Bedanya EGP menunjuk hidung sendiri, sedangkan masbuloh menunjuk hidung orang lain. Walau sama-sama menunjukkan ketidak-pedulian atau melempar tanggung jawab ke yang lain. Namun perlu diingat, bahwa sikap seperti ini mempunyai konsekuensi yang besar. Memang kita mendapatkan keuntungan dan manfaat sesaat saat itu, tetapi dalam jangka panjang sebenarnya kita tengah menciptakan suatu kejahatan pada diri sendiri yang akan menimpa kita suatu waktu. Sebagaimana Allah berfirman dalam Kitabnya terkait masalah ketidak-pedulian dan lempar tangung jawab seperti ini; “Dan takutlah kamu pada fitnah yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfaal:25)
Maka, ketika pulang dari Cipanas, Garut bersama keluarga minggu yang lalu, di Toll JORR ketemu sebuah truk yang berjalan di sebelah kanan dengan gayanya dan tak mau ngalah, saya tersenyum lebar. Sebab di bak belakangnya tertulis; Masbuloh! 😀 (FA)