Terus terang, saya baru mendapatkan kabar meninggalnya Mbah Surip jam 14.39, ketika saya berada di tengah belantara Geragai, Tanjung Jabung Timur. Kaget juga, istri kirim SMS; “Mbah Surip meninggal tadi pagi.” Apa pentingnya, pikir saya. Tapi saya penasaran juga, lalu saya balas, “Yang bener? Mati kenapa?” “Tadi pagi. Ki baru rame di TV. Kecapekan, jantung,” balas istri saya. Kemudian sesampai di kantor jam 17.00 lewat, baru saya update melalui internet. Ternyata benar, bahkan presiden pun ikutan berbela sungkawa atas meninggalnya Mbah Surip. Lebih kaget lagi, ternyata ada yang minta tanggapan mengenai hal ini. Kayaknya heboh banget gitu. Kematian adalah proses alamiah. Sesuatu yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Kematian seperti gugurnya dedaunan dari batang pohon. Jika datang masanya, jika datang waktunya, pasti terjadi. Tidak bisa ditunda dan dimajukan sedikit pun. Kematian adalah keniscayaan. Oleh karena itu, seorang guru kehidupan ketika ditanya mengenai rumus kehidupan, dengan singkat ia menjawab, “Kakek mati, kemudian bapak mati, kemudian anak mati.” Jawaban ini tentu membingungkan bagi orang yang bertanya, namun sang bijak tetap pada pendapatnya. “Inilah rumus kehidupan yang alamiah,” katanya lagi. “Mengapa demikian?” kata si penanya. “Tentu saja, karena kalau anak yang mati lebih dulu, orang tuanya akan sangat sedih dan kesedihan itu tidak akan hilang selama – lamanya. Sementara kalau orang tua yang lebih dulu meninggal, walau si anak juga akan merasa sedih, kesedihan itu akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu dan kesibukan.”
Kematian dimanapun berada selalu membawa cerita bagi yang hidup dan yang ditinggalkannya. Tapi sebaik-baik cerita yang patut kita dengar adalah petuah: Kafa bilmauti wa’idhon (rowahu at-Thabrani). Cukuplah mati sebagai sebuah nasihat. Seorang filsuf China I Ching, dalam rangka menyelami dan menemukan indahnya kehidupan ini, pernah mengatakan, “Peristiwanya sendiri tidak penting, tetapi makna dan pembelajaran dibalik peristiwa itulah yang sangat penting.” Nah, nasehat apa yang kita dapatkan dari meninggalnya Mbah Surip? Semua orang mungkin mendapatkan kesan dan nasehat yang berbeda dari hal atau peristiwa yang sama. Itu sah – sah saja, yang penting bermanfaat bagi kemajuan spiritual seorang hamba.
Mbah Surip adalah fenomena. Bagi pemerhati kehidupan, perjalanan hidup Mbah Surip adalah contoh yang indah dalam memahami roda kehidupan ini. Ada orang yang tenar, kaya dan hebat ketika masih bocah. Kita masih ingat penyanyi cilik Joshua, dengan Diobok – oboknya. Setelah menginjak remaja, Joshua seperti di telan bumi. Ada orang yang tenar, kaya dan hebat kala remaja. Ambil contohnya seperti Adi Bing Slamet atau Ira Maya Shopa. Kala sudah dewasa mereka tidak sepopuler kala masih remaja. Ada juga yang tenar, kaya dan hebat kala dewasa. Ini yang umum dan banyak contohnya. Maradona, Pele, M. Phelps, Ronaldo, dll. Maka dari itu kita mengenal istilah golden age atau usia emas. Umumnya di bidang olah raga. Ada juga orang yang mulai terkenal di usia 40-an. Ada kata pepatah life begins forty. Contohnya kayak Tukul Arwana atau Susan Boyle. Nah satu lagi, ada yang kaya dan terkenal ketika sudah menginjak usia senja. Dalam kasus ini seperti Pak Bendot juga Mbah Surip. Sudah tua baru laris – manis, terkenal dan kaya.
Ini adalah pembelajaran penting dalam kehidupan, dalam memahami arti qodar dan usaha. Dalam sebuah haditsnya Nabi SAW pernah bersabda kalau orang itu diqodar kaya, maka dia tidak akan mati sebelum menemukan qodarnya yaitu menjadi kaya. Dalam kasus Mbah Surip, menjelaskan kepada kita bahwa setiap diri tidak akan lepas dari qodar yang ditetapkan baginya. Manusia tidak bisa memilih kapan kayanya, tetapi manusia diberi jalan dengan cara berusaha. Ikhtiar, untuk menemukan catatan qodarnya. Berjuang menguak takdirnya. Beruntung bagi yang menemukan qodar kaya secara alamiah, ketika masih muda sudah kaya. Artinya masih banyak waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan kekayaannya sebagai bekal dan tabungan ibadah.
Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan, dari Ibnu Dailami ia berkata: "Aku datang kepada Ubay bin Ka’ab, kemudian aku katakan kepadanya: ''Ada sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah qadar, maka ceritakanlah kepadaku tentang suatu hadis, dengan harapan semoga Allah s.w.t. menghilangkan keraguan itu dari hatiku", maka ia berkata: "Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu, sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi penghuni neraka. Kata Ibnu Dailami selanjutnya: "Lalu aku mendatangi Abdullah bin Mas''ud, Hudzaifah bin Yaman dan Zaid bin Tsabit, semuanya mengucapkan kepadaku hadis yang sama dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w. di atas." (HR. Al Hakim dan dinyatakan shoheh).
Berbeda ketika tua baru kaya, salah – salah belum sampai menikmati dan memanfaatkan kekayaannya, ajal sudah tiba. Inilah yang terjadi pada Mbah Surip. Royalty sebesar Rp 4,5 M misalnya, tak bisa digendong kemana – mana. Dia jadi harta yang diperebutkan oleh ahli warisnya. Diperebutkan oleh yang hidup. Maka Nabi SAW selalu mengingatkan, manakah harta yang paling kamu suka, hartamu atau harta ahli warismu? Sahabat semua menjawab, kalau mereka suka dengan harta mereka dan bukan harta ahli warisnya. Akan tetapi pada praktiknya manusia selalu memperbanyak harta ahli warisnya dan menyedikitkan kekayaan dirinya. Sebab banyak manusia yang masih enggan membelanjakan hartanya di jalan Allah dan bekal setelah mati. Manusia lebih suka menumpuk – numpuk harta. Padahal setelah mati ahli waris yang memperebutkan. Tak bisa digendong ke alam baka dan menolongnya.
Dari Ibnu Mas’ud r.a., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa diantara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Mereka menjawab, ‘Ya, Rasulullah, tidak ada seorang pun dari kami kecuali dia lebih mencintai hartanya sendiri.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya hartanya adalah yang dia berikan (di jalan Allah) sedangkan harta ahli warisnya adalah apa yang dia tahan.” (Rowahu Bukhory dan Nasa’i)
Menutup tulisan ini, mungkin tepat apa yang disampaikan oleh Mbah Surip dalam akhir lagunya; Tak gendong ke mana – mana — caaaapppeeeekkkk………….., gendong harta kemana – kemana. Makanya dia tinggalkan dan memilih tidur dan tidur untuk selama – lamanya, sehabis bangun yang terakhir kali. Jadi harta tak dibawa mati. Selamat jalan Mbah Surip. Semoga Allah menerima disisiNya sesuai amal perbuatannya.
Oleh :Faizunal Abdillah