Oleh: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Ada sebuah rumusan sederhana yang banyak dirasakan orang dalam menjalani kehidupan ini. Bunyinya; “Apa yang selalu diinginkan (de jure) tidak selalu kesampaian (de facto).” Sebagai akibatnya, di sepanjang akar sejarah manusia ada kesenjangan nyata antara yang diinginkan dengan yang didapatkan. Menanti anak lelaki, yang lahir perempuan terus. Giliran di sebelah, mengharap perempuan, yang brojol jantan terus. Ada pula yang menunggu kursi direktur, yang ada bangku kondektur. Menaksir wanita cantik, yang nikah orang lain. Dan masih banyak lagi yang lain. Walau tak menampik, banyak juga yang mendapat sesuai yang diinginkannya.
Di dunia pencerahan, sering terdengar pesan indah seperti ini; tatkala sebuah pintu kebahagiaan tertutup, sebenarnya ada pintu kebahagiaan lain yang sedang terbuka. Ketika, satu keinginan tak terpenuhi, sebenarnya diganti dengan terpenuhinya satu keinginan lain. Dalam bahasa tua yang lain; Allah menyampaikan:
فَاِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ يُسۡرًا اِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ يُسۡرًا
“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 5-6)
Sedihnya, entah karena gelombang kemarahan atau sempitnya celah sudut pandang, banyak manusia hanya terfokus pada pintu yang tertutup. Lupa mengangkat wajah, tengok kiri dan kanan, melihat pintu lain yang sedang terbuka. Hasilnya, semakin parah jurang pemisahnya. Gelap dan dalam. Padahal Sang Pencipta memberikan tuntunan dengan ringkas dan jelas;
وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216).
Oleh karena itu, pekerjaan rumah selanjutnya adalah membuka mata hati. Memainkan kutub dan katub hati dengan baik dan benar. Paling sedikit ada dua sisi yang harus dilihat dan difahami, dari setiap kejadian yang menerpa. Badan yang menua, melemah dan sakit-sakitan adalah pintu yang tertutup, tapi panggilan untuk menemukan cahaya jiwa di usia tua, itu pintu yang sedang terbuka. Kegagalan dan ketidakberhasilan memang pintu yang tertutup. Namun undangan untuk belajar lebih dalam lagi, itu pintu yang terbuka. Anak-anak nakal menjadi pintu tertutup. Meletakkan mereka sebagai guru kesabaran, itu pintu yang terbuka. Terus dan terus, buka-tutup yang indah berputar mengiringinya.
Sehubungan dengan dualisme di atas, maka dalam menjawab pertanyaan tua;
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنۡ يُّتۡرَكُوۡۤا اَنۡ يَّقُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَـنُوۡنَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabut:2), seorang sahabat menemukan rahasia kehidupan di balik kesehariannya menyapu dan mengepel lantai. Setelah dibersihkan, tidak lama lagi lantainya kotor oleh ini dan itu. Begitu dan begitu lagi setiap hari. Sampai suatu hari ia mendengar pesan indah, di kehidupan ini ada yang bikin kotor, ada yang bikin bersih. Seumpama suara, ia keluar dari mulut yang sama. Mau bersih, mau kotor yang terjadi, ketika kita bisa menemukan bibir sumber suara yang mengeluarkannya, maka kita akan berjumpa senyuman indah Sang Penciptanya. Dalam kesempatan ini, firman berikut patut direnungkan dengan seksama.
وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik dan yang buruk-buruk, agar mereka kembali.” (QS Al-A’raf:168).
Proses kembali itulah yang akan menuntun pemahaman menemukan senyuman dan bibir yang menghasilkannya.
Dari sini, sahabat terakhir berhenti mempertentangkan antara de jure (yang seharusnya) dengan de facto (yang senyatanya). Hidupnya seolah berubah. Gairahnya tumbuh untuk melaksanakan panggilan hidup sebaik-baiknya. Sahabat ini terbuka mata hatinya, terketuk sanubarinya, dengan aliran hikmah ayat ini.
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-A’raf:188).
Dari spirit ayat di atas, sahabat ini mempunyai moto baru; syukuri apa yang kamu dapati. Isilah hidup dengan kebaikan dan kebaikan. Lengkapi dengan usaha sebaik-baiknya, apapun hasilnya itu adalah yang terbaik dari Yang Kuasa. Dengan cara ini, ia tidak saja melihat senyuman Tuhan setiap hari, tapi juga menjadi bagian dari tarian senyuman Sang Pencipta setiap masa. Hasilnya; tubuh sehat, hidup nikmat, jiwa selamat, dan insya Allah surga dapat. Amin.
LDII, ok….
yah begitulah kehidupan,bila bisa memahami,keindahanlah yg setiap saat dirasakan🙏🙏🙏
Sangat menginfirasi , smg kt tergugah dg sering koreksi , smg penulis mendapat phla , Aamiiin
Saya suka membaca tulisannya pak faizunal Abdillah..
Mohon ijin share tulisannya boleh?
الحمدالله جزا ك لله خير
Silahkan Pak
Mantabbb. Semoga tetap ASALABAR…
Luar biasaa